Minggu, 03 Januari 2016

Hernan Crespo Saat Di AC Milan Dan Golnya


Nama Hernan Crespo sudah tidak asing lagi bagi pecinta sepakbola era 90an dan 2000 awal. Dia adalah salah satu striker terbaik Argentina bertipikal striker murni. Di eropa dia mengawali karir di Parma. Setelah terbilang sukses di Parma dia di beli oleh Lazio tim yang baru saja menjuarai Liga Serie A Italia, bahkan dia sempat memegang rekor transfer saat itu sebelum dipecahkan oleh playmaker France Zinedine Zidane. Namun disaat itu pemilik klub Lazio mengalami kejatuhan financial dan terpaksa menjual para pemain bintangnya, tak terkecuali Crespo.


Akhirnya Inter Milan menjadi pelabuhan selanjutnya bagi Crespo, dia menggantikan Ronaldo Brazil yang hengkang ke Real Madrid serta mewarisi nomer jersey nya juga. Tak bertahan lama di Inter, klub Inggris yang sedang membangun tim besar dengan pemilik baru Roman Abrahamovic yakni Chelsea menginginkan jasanya di Stamford Bridge. Lewat pelatih Claudio Ranieri Chelsea berusaha mendatangkanya. Sesungguhnya Crespo sudah betah di ranah Italia namun petinggi Inter sudah memutuskan dia akan di jual.




Jadilah Chelsea tim selanjutnya bagi Crespo. Kultur di Britania nampaknya tidak cocok untuk seorang Crespo dia tidak bisa mengeluarkan performa terbaiknya. Lalu terjadi pergantian pelatih di tubuh Chelsea, Claudio Ranieri digantikan pelatih yang baru saja sukses mengantar Porto sebuah klub di Portugal meraih kesuksesan luar biasa salah satunya menjuarai Liga Champions, dia adalah Jose Mourinho. Nampaknya pemilik Chelsea serius dengan berambisi menjadikan klubnya menjadi tim yang bersaing dengan tim-tim besar lain. Dana besar dia sediakan untuk membangun Chelsea dengan cara mendatangkan banyak pemain berkelas yang dibutuhkan Mourinho, salah satunya penyerang asal Pantai Gading Didier Drogba dari Marseille. Karena sama-sama berposisi striker utama maka Mourinho memberitahu Crespo supaya dia bisa beradaptasi dengan pemain baru yang mungkin akan saling bergantian di mainkan. Namun disaat itu datang tawaran dari Italia, dari AC Milan pelatih Carlo Ancelotti menginginkan peran Crespo karena salah satu striker mereka Filippo Inzaghi dilanda cedera panjang.







Crespo pun di pinjam untuk semusim dan kali ini membela Milan rival mantan klubnya dulu Internazionale. Di sini dia menemukan bentuk permainanya kembali. Gol demi gol lahir dari kaki dan kepalanya. Performa Milan pun juga menanjak sejak kehadiranya, duetnya bersama penyerang Ukraina Andriy Shevchenko menjadikan lawan tidak bisa tenang karena bahaya yang selalu mengancam meraka. Selain itu karena Milan saat itu diisi oleh pemain-pemain hebat lainnya antara lain Kiper Nelson Dida, Bek tengah Nesta dan Stam, bek sayap Cafu dan Maldini dilini tengah ada nama semacam Clerence Seedorf, Ricardo Kaka, Manuel Rui Costa, Genaro Gattuso, dan Andrea Pirlo tim ini menjelma menjadi tim yang begitu kuat mungkin yang paling kuat yang pernah aku lihat karena keseimbangannya mulai dari lini belakang yang tangguh, lini tengah yang dihuni pemain berkelas, dan striker mautnya.





Di Liga Champions Crespo memegang peranan penting bagi Milan dalam mencapai Final, sebelum melawan Liverpool Milan harus menjalani pertandingan tak kalah bergengsi melawan tim England lainya yaitu si Iblis Merah Manchester United tanpa striker andalan mereka Sheva. Namun Ancelotti bukanlah pelatih semenjana, dia pelatih yang bagus. Milan memainkan formasi satu penyerang dialah Crespo yang merupakan pemain pinjaman, hasilnya? Sungguh tepat strategi dari Don Carletto kepercayaan yang ia berikan tidak disia-siakan. Crespo menunjukkan kelasnya sebagai pembeda di dua laga yang harus dilalui.





Laga pertama di Old Trafford kedua tim bermain menyerang dan sama-sama kuat, sampai pada saat Crespo mencuri gol kemenangan. Berawal dari sepakan keras Seedorf bola tak mampu ditangkap sempurna oleh kiper MU dilaga itu Casey Carrol, bola liar sesegara diperebutkan oleh Carrol dan Crespo yang datang dari garis pertahanan MU, celakanya Crespo lebih cepat dan berhasil menceploskan bola ke gawang MU. Salah satu kelebihan Crespo dia bisa membaca arah bola, positioning dia sangat baik, dan respon dia juga lebih cepat dibanding pemain belakang lawan.











Laga kedua di San Siro pun tak kalah seru, keduanya masih sama-sama menyerang demi bisa mencetak gol secepat mungkin, pertandingan juga terlihat sama-sama kuat. Namun lagi-lagi Crespo keluar sebagai protagonis melawan tim besutan Fergie itu yang dihuni Cristiano Ronaldo, Rooney, Nistelrooy, Giggs, Scholes, Roy Keane, Ferdinand, Gary Neville. Berawal saat Milan menguasi bola disisi pertahanan mereka Nesta melihat posisi Cafu yang bebas disisi depan kanan dan dia langsung memberi umpan jauh yang terukur, sebentar menguasai bola Cafu langsung mengirim Crossing ke depan gawang MU disana ada Crespo yang dijaga Ferdinand. Ferdinand tak bisa menjangkau bola yang terlalu tinggi itu namun Crespo mampu melompat untuk menyambut umpan yang ditujukkan kepadanya itu dan Boom!!! Dengan cedik Crespo mengarahkan bola ke tiang jauh sebelah kanan tanpa bisa di cegah kiper MU di pertandingan itu Tim Howard. Gol semacam itu juga menjadi satu kelebihan Crespo yaitu duel udara dan sendulan mematikan. MU pun dipastikan tersingkir dan Milan yang berhak lolos dengan agregat 2-0 berkat Crespo. Beruntung juga Milan meminjamnya saat itu dari Chelsea.








Kemudian final melawan Liverpool semua orang sudah mengetahui hasilnya. Sesungguhnya Milan bisa juara saat itu namun keberuntungan belum berpihak dengan meraka. Unggul 3-0 di babak pertama bahkan Crespo mencatatkan dua gol di laga final, jarang ada pemain yang bisa melakukan itu seingatku hanya Inzaghi (2007) dari Milan dan Millito (2010) dari Inter yang bisa menyamainya. Gol pertama ia memanfaatkan assist Sheva melalui situasi serangan balik, sekali lagi dia terbantu karena positioning dia yang baik. Gol kedua juga dari serangan balik dari pertahanan Milan Kaka mengirim umpan direct ke pertahanan Liverpool yang gagal dihentikan bek, disana bola diperebutkan oleh Crespo dan Dudek yang maju ingin menjemput bola. Namun tampaknya Crespo lebih cepat dan tanpa control Crespo langsung men-chip bola melewati Dudek, sungguh finishing yang berkelas, brilliant, dan cantik dari seorang penyerang hebat. Namun sayang 2 gol itu tak mampu memenagkan Milan. Dibabak kedua semua berubah Liverpool bangkit dan sanggup menyamakan kedudukan menjadi 3-3, Crespo sendiri diganti jelang akhir laga normal dengan penyerang John Dahl Tommasen. Pada akhirnya Milan kalah adu pinalti, Dudek menjadi pahlawan berkat penyelamatan pinalti dari Pirlo dan Sheva. Kejadian itu sangat memukul seluruh pemain Milan tak terkecuali Crespo sendiri, dia hampir tidak percaya semua itu terjadi. Mentalnya pun jatuh dan sempat ingin pensiun dini namun akhirnya urung terjadi.











Setelah final itu, dia tidak dipermanenkan oleh Milan, dia kembali ke klubnya dari masa peminjaman. Berikut pernyataan dia yang membuka kisah sebenarnya dulu : “Waktuku di Milan cukup sulit. Aku datang dari Chelsea dan harus beradaptasi dengan sepak bola Italia lagi. Kemudian aku mulai mencetak gol lagi dan kami mampu mencapai babak akhir di semua kompetisi," kata Crespo jelang pertandingan Parma melawan Milan, Rabu (24/3/2010). Mantan pemain Inter Milan itu sedih karena harus meninggalkan "I Rossoneri" dan kembali ke Chelsea. "Kurang lebih seperti itu (sedih). Ketika Anda bermain di tim sebesar Milan, pikiran terakhir yang ada di kepala Anda adalah hengkang ke klub lain. Setelah melalui musim fantastis dengan 18 gol, dua gol di antaranya di final Liga Champions, aku pikir aku akan tinggal. Milan pun berpikiran sama," ujar Crespo. "Namun, (pemilik Chelsea Roman) Abramovich tidak mengizinkannya. Ia menginginkanku kembali ke Chelsea. Kenyataannya mereka tak bisa membiarkanku tinggal di Milan setelah aku mencetak gol di final Liga Champions dan ke gawang Brasil," ungkap pemain 34 tahun tersebut.(*)




Dan satu lagi : “Saya berhasil bermain untuk Milan, tim yang saya cintai. Tapi, hanya untuk satu tahun karena final Liga Champions kami kalah," ujar Crespo kepada La Gazzetta dello Sport, dilansir Forza Italian Football, Jumat (12/9). Menurut dia, kepergiannya memperkuat Inter sangat disesalkan Wakil Presiden Adriano Galliani. Dengan jujur, kata Crespo, Galliani mengaku beberapa kali telah membuat kesalahan tidak mempertahankannya. "Saya kecewa tentang keputusan itu karena saya tidak bisa membalas dendam melawan Liverpool pada tahun 2007. (Alessandro) Nesta, (Andrea) Pirlo, (Gennaro) Gattuso, (Cristian) Brocchi, dan (pelatih Carlo) Ancelotti, 'Saya menerima pesan dari beberapa pemain Milan' setelah menang Liga Champions pada tahun 2007."Mereka menulis bahwa trofi CL juga adalah milikku -.  Dan berpikir bahwa saya bermain untuk Inter pada waktu itu saya tidak akan melupakan itu."







Jika dilihat-lihat dari beberapa gol yang dibuat oleh Crespo seolah-olah bola itu menghampiri dirinya. Dia pandai mencari ruang dan posisi untuk mencari arah bola dan secepat mungkin memanfaatkannya dibanding pemain lain. Karena tipikal dia adalah striker murni yaitu tugas dia mencetak gol dan menunggu bola, Crespo bukan tipe penyerang dengan kecepatan ataupun dribble menawan, meskipun begitu dia punya respon yang cepat terhadap bola. Selain itu dia memiliki teknik yang lumayan cukup baik untuk seorang penyerang, finishing dia juga bagus dia sering mencetak gol lewat kaki kanan kadang kaki kirinya sama baiknya dan juga dia ahli duel udara tak jarang dia mampu membobol gawang lawan dengan kemapuan sendulanya yang sangat baik dari berbagai situasi dia sanggup menjadikan bola itu mengarah deras ke gawang lawan.







Dia berbeda dari Ronaldo Brazil yang punya dribble hebat dalam melewati pemain lawan, atau Del Piero yang punya teknik yang lebih baik dari dia dan juga ahli tendangan bebas, atau Henry dan Sheva yang memiliki kecepatan dalam melewati lawan. Dia hanyalah striker murni yang menunggu bola dan memanfaatkanya, striker yang memiliki tipikal seperti dia ada beberapa seperti Miroslav Klose, Raul Gonzales, David Trezeguet, Christian Vieri, Fernando Morientes, Didier Drogba. Namun sekarang hanya tersisa beberapa antara lain Robert Lewandowski, Edin Dzeko, Andy Carrol, Fernando Llorente, Karim Benzema.

























Kisah seorang Hernan Crespo di AC Milan adalah kisah yang menyedihkan dan mungkin terlupakan, lewat tulisan ini aku berharap kisah ini akan dikenang kembali dan untuk sekedar mengingat dalam hidup itu ada masa-masa sulit yang bisa hadir tanpa diinginkan seperti yang dialami Crespo. Terimakasih atas gol-gol yang kau berikan selama berseragam Milan Valdanito, Grazie Hernan! Vamos La Albiceleste








Wawancara Dengan Crespo Dalam Acara Inter Legend di Inter Channel


Kemarin, legenda Inter, Hernan Crespo menjadi tamu dalam acara Inter Legends yang tayang di Inter Channel. Berikut apa saja yang disampaikan oleh Crespo:

  
Saat di River Plate:
“Saya mulai bermain sejak umur 6 tahun hingga 10 tahun, namun pada usia 10 hingga 16 tahun, saya lebih sering duduk dibangku cadangan, saya menjadi pemain ke 12. Namun di musim berikutnya, pelatih memberikan kepercayaan kepada saya dan saya memainkan 21 laga dengan torehan 23 gol, jumlah yang cukup banyak untuk pemain berumur 17 tahun. Mulai sejak saat itu, petualangan saya dimulai, hingga akhirnya memenangkan Copa Libertadores tahun 1996.”

Saat di Parma:
“Saya setuju bergabung dengan Parma sebelum Copa Libertadores dimulai. Mereka melihat saya saat pra Olimpiade dan kami langsung menentukan harga saat itu. Tidak ada orang di River yang membayangkan jika saya ‘meledak’ pada tahun itu. Saya menjadi pencetak gol terbanyak di Libertadores, Olimpuade dan bahkan mengalahkan Ronaldo. Bahkan presiden Argentina berkata, Anda tidak bisa menjual Crespo dengan harga segitu.”


Tentang Ronaldo:

“Tidak ada perbandingan dengannya. Ronaldo jauh berubah. Ronaldo adalah Ronaldo dan kami memiliki perbedaan dari berbagai hal. Ia sungguh fenomenal. Ia memiliki kecepatan serta drible nya sungguh mengerikan.


Saat di Lazio:

“Musim pertama di Lazio bersama Eriksson sungguh sulit. Kami saat itu berstatus sebagai juara bertahan dan mungkin kami sedikit santai. Kemudian Eriksson memutuskan hengkang untuk melatih Inggris. Kemudian pihak klub mendatangkan Poborsky dan mengangkat Zola sebagai pelatih dan tim mulai menanjak.”





Hengkang ke Inter:

“Lazio mengalami masalah dengan keuangan klub dan harus memaksa mereka melepas para pemainnya. Nedved, Veron, Mendieta dan De La Pena hengkang. Mencari pengganti para pemain ini sangat sulit. Dan kemudian dilanjutkan dengan kepindahan saya ke Inter dan Nesta ke Milan. Saya masih ingat kepindahan saya ke Inter, dimana semua bergantung kepada nasib Ronaldo, jika ia pindah ke Madrid, saya akan pindah ke Inter, namun jika Ronaldo bertahan, saya yang akan pindah ke Madrid.
 











Tentang Vieri:


“Dia adalah sosok yang luar biasa. Ketika bergabung dengan Inter membuat saya merasa seperti di rumah sendiri. Ketika Anda berjalan ke ruang ganti dan melihat ada sosok penyerang hebat seperti Vieri akan otomatis membuat Anda merasa dia adalah seorang primadona. Hal yang sama yang saya alami di Chelsea ketika diperkuat Drogba dan Shevchenko. Saya banyak belajar dari Bobo, salah satunya dalam hal menyundul bola yang membuat saya semakin kuat dalam duel udara. Sebelumnya saya sangat jarang melakukannya. Selalu mempelajari hal baru membuat Anda semakin berkembang dan bertambah kuat.”

Cedera:

“Ketika menghadapi Modena, saya mengalami cedera. Saya menghabiskan tiga bulan untuk menyembuhkan cedera itu, rekor cedera terpanjang saya. Saya merasa karir saya berakhir kala itu. Saya berkata kepada Cuper waktu menghadapi Modena jika saya sudah tidak kuat lagi untuk menendang karena kaki saya sangat sakit rasanya. Saya masih bisa berlari, namun ketika melakukan tendangan, rasanya sakit luar biasa, seperti Anda di operasi tapi tanpa diberi bius.”

Derby Milano di Eropa :


“Kami kala itu bermain tanpa diperkuat Bobo. Walaupun kami memiliki Recoba, namun Bobo adalah sosok yang berbeda dan penting, namun inilah sepakbola. Kami mengalami kekalahan di laga pertama dan memaksakan hasil imbang di laga kedua semi final Liga Champions.”


Saat di Chelsea:


“Itu adalah masa yang sulit. Saya tidak ingin meninggalkan Inter, mungkin saya akan memilih lari sambil menangis karena saya tidak ingin meninggalkan tim ini. Kasih sayang yang saya terima dari para fans sungguh luar biasa. Saya belum memberikan yang terbaik untuk tim ini. Selalu finish dibawah Juventus membuat saya terganggu. Saya memimpikan meraih Scudetto di Italia. Tapi para petinggi Inter sudah memutuskan dan saya harus menerimanya.”



Saat di AC Milan:

“Sepakbola membuat Anda tersenyum. Saya membawa teman saya yang seorang Interista ke Istanbul untuk menyaksikan laga Milan – Liverpool. Namun yang terjadi seminggu kemudian adalah saya menjadi bahan olokan. Inter kala itu bermain di laga final Copa Italia. Teman saya itu ada di Curva Inter di San Siro dan mereka mulai bernyayi tentang apa yang menimpa kami (Milan) di Istanbul. Istanbul adalah mimpi buruk saya.”

Mengenai Mourinho:


“Saya mengenal Jose dan ia berkata ketika saya di Chelsea jika: Anda adalah seorang penyerang tengah dan ada Didier Drogba yang akan datang, jadi Anda harus bisa beradaptasi. Kemudian saya berkata kepadanya jika Ancelotti menginginkan saya di Milan dan saya kemudian hengkang ke Milan dan mereka mendatangkan Kezman. Kemudian saya kembali ke Chelsea usai final Liga Champions di Istanbul dan mereka sudah berubah menjadi tim yang luar biasa. Musim itu kami mampu keluar sebagai juara dan kami berhasil meraih 95 poin di akhir musim. Sebenarnya kami bisa meraih 100 poin, namun dua laga terakhir kami tidak melakukan persiapan dengan baik karena banyak pemain yang lebih mempersiapkan diri mereka untuk piala dunia.




Gol ke 200:

“Mencetak 200 gol dalam karir adalah sesuatu kebanggaan tersendiri bagi saya. Gol pertama saya dicetak ke gawang Inter ketika saya masih bermain untuk Parma, dan gol ke 200 saya di cetak ke gawang Parma. Itu merupakan catatan yang luar biasa. Di akhir musim 2006-2007, kami berhasil merengkuh Scudetto, yang merupakan Scudetto pertama yang kami raih dilapangan dalam beberapa tahun terakhir. Para fans harus menikmati momen ini.”

Kembali ke Parma:

“Saat itu, saya berkesempatan berlaga di Europa bersama Genoa, namun kemudian Parma datang ingin membawa pulang. Ini adalah bentuk cinta mereka kepada saya. Saya baik-baik saja secara mental, namun secara fisik saya mulai lelah. Saya mencoba memberikan yang terbaik disana, di sisa karir saya. Saya bertarung untuk menghindarkan mereka dari degradasi. Saya sangat bangga atas apa yang saya lakukan.”

Source: FCInter1908.it

#dikutip dari nerazzuriale.com

Kisah Seorang Yang Ditakdirkan Menjadi Playmaker Klasik Terakhir Didunia


Dia tinggi, wajahnya selalu murung ketika memasuki lapangan menjelang pertandingan, banyak pihak yang mengkritik gaya bermainya yang lambat dan malas bergerak. Namun ketika bola sudah berada dalam penguasaanya akan sulit untuk pemain lawan merebutnya. Dia membungkam para pengkritik dengan aksi-aksi menawan dan juga umpan-umpan dekat maupun jauh dengan presisi dan keakuratan tinggi. Tak jarang dia juga membuat gerakan-gerakan yang membuat penonton berdecak kagum dengan teknik yang dia miliki. Konon gerakan itu tidak diajarkan disekolah sepakbola manapun ataupun di sekolah sihir. Dia mempelajarinya sendiri di jalan-jalan di tanah kelahiranya sejak masih kecil (sampai sini lupa artikelnya aku cari lagi gak ketemu-ketemu :ngakaks: )








Dia adalah Juan Roman Riquelme ( bacanya Huan Roman Riqelme! ) banyak yang ingin kutulis mengenai dirinya. Berposisi sebagai pemain tengah dia berperan sebagai playmaker. Bukan sembarang playmaker dia adalah seorang playmaker classic no.10 yang terakhir mungkin, karena setelah dia tidak ada lagi pemain bertipikal seperti dia. Dulu di era 80-90an banyak playmaker klasik terlahir seperti Maradona, Roberto Baggio, Michel Platini, Ruud Gullit, Lothar Matheaus, Enzo Francescoli, Valderama, George Hagi dan tentu saja Zinedine Zidane. Mereka bermain lebih mengandalkan teknik tinggi dan kecerdasan, visi yang baik, drible mumpuni, operan-operan yang jitu dan kemampuan mencetak gol yang harus baik juga, serta sebagai free kick ataupun set-piece taker yaitu pengambil tendangan pada situasi dead ball/bola mati.

Pun Riquelme dia memiliki itu semua juga, para kalangan menyebut Riquelme semestinya bermain di era 90an dan dia sanggup menjadi pemain terbaik dunia setiap tahunnya, karena di era modern sekarang ini peran playmaker classic sudah ditinggalkan. Pelatih revolusioner semacam Van Gaal, Mourinho, Marcelo Bielsa dan Pep Guardiola sudah pasti tak akan membutuhkan pemain semacam Riquelme. Karna mereka lebih memilih pemain yang banyak bergerak sedangkan Riquelme adalah pemain yang hanya menunggu bola diberikan kepadanya, serta tidak berkewajiban membantu pertahanan. Dia tersisihkan dan terbuang dari petualangannya di Eropa karena iklim sepak bola yang berubah, para pelatih tidak meminati lagi jasa playmaker klasik dan memang hanya tersisa dia saja setelah Zinedine Zidane.

Bersama Boca Jr ia meraih berbagai presatasi apertura clausura liga Argentina, hingga membawa Boca Jr menjuarai Copa Libertadores dan bertarung di Piala Intercontinental melawan Juara Liga Champions Eropa Real Madrid. Boca Jr pun memenangi kejuaraan tersebut dengan skor 1-0 berkat Martin Palermo dan Riquelme, bayangkan tim dari Argentina yang hanya bermaterikan pemain lokal saja sanggup mengalahkan kekuatan tim eropa dengan dukungan pemain-pemain terbaik dari berbagai Negara? Sungguh pencapaian yang luar biasa. Di tahun berikutnya Boca berhasil menjuarai Copa Libertadores lagi namun sayang mereka kalah di Piala Intercontinental melawan Bayern Munchen. Tak banyak tim yang mampu ke final Piala Intercontinental berturut-turut.











Usai kegemilanganya bersama Boca klub Spanyol Barcelona kepincut merekrut pemain berjuluk “si penyihir malas” ini pada musim 2002/03. Namun pelatih Barca saat itu van Gaal menyebut pembelian Riquelme sebagai bagian dari politik. Sang meneer kurang sreg dengan gaya main riquelme yang klasik. Dia jarang menurunkan Riquelme sebagai starter, sekali dimainkan Riquelme diposisikan menjadi winger, posisi yang sangat asing baginya. Mungkin sang meneer ingin dia lebih banyak bergerak dan berlari dengan memplot dia sebagai sayap. Bermain bukan pada posisinya membuat Riquelme tidak berkembang.





Di timnas Argentina pelatih saat itu Marcelo Bielsa meninggalkanya untuk berlaga di pentas Piala Dunia 2002 Korea-Japan yang seharusnya menjadi Piala Dunia pertama bagi Riquelme. Bielsa kurang menyukai gaya bermainya yang lambat dan lebih memilih playmaker Lazio Juan Sebastian Veron, Argentina akhirnya gagal total di turnamen itu karena tidak lolos dari fase grup yang merupakan prestasi terburuk.


Setelah itu Riquelme dipinjamkan ke Villareal mulai musim 2003 dan disini Riquelme mulai menemulkan bentuk permainanya dibawah asuhan pelatih Manuel Pelegrini yang berasal dari Chile serta pemain-pemain yang berasal dari Amerika Selatan seperti Diego Forlan dari Uruguay dan kompatriotnya sendiri Juan Pablo Sorin dari Argentina membuat adaptasi di Villareal menjadi mudah. Bersama tim ini Riquelme sanggup memberikan 2 trofi Piala Intertoto ( turnamen tingkat 3 setelah Liga Champions dan UEFA Cup). Dan puncaknya membawa Villareal ke fase Perempat-final Liga Champions setelah menyingkirkan Manchester United dan Inter Milan, namun terhenti melawan Arsenal dimana dia gagal mengeksekusi hukuman pinalti yang berpeluang membawa Villareal ke final melawan Barcelona (mantan timnya), di musim 2005/06.






Pada turnamen internasional selanjutnya Argentina memiliki nahkoda baru, dialah Jose Pakerman. Sosok yang tidak asing bagi Riquelme, dialah pelatih tim muda Argentina U-20 yang menjuarai Piala Dunia U-20 di Malaysia dan Riquelme menjadi bagian bersama Walter Samuel, Esteban Cambiasso dll. Yang pertama Copa America 2004 Argentina sampai difinal namun dikalahkan Brazil lewat adu pinalti 4-2 skor saat pertandingan normal 2-2. Kemudian pada piala Konfederasi 2005 mereka bertemu lagi di final, lagi-lagi Riquelme harus menaggung malu karena dikalahkan Ronaldinho cs dengan skor mencolok 4-1. Memang Skuad Argentina kala itu masih kurang pemain top dibanding Brazil yang saat itu masih dihuni generasi emas seperti Ronaldinho, Dida, Lucio, Gilberto Silva, Ze Roberto, Roberto Carlos, Cafu, Adriano, Ronaldo yang semua bermain di tim Elit eropa.









Selanjutnya Piala Dunia 2006 akhirnya menjadi Piala Dunia pertama dan terakhir Riquelme karena setelah ini Riquelme bermasalah dengan pelatih tim tango seperti di Piala Dunia 2010 dia berseteru dengan Maradona, dan di Piala Dunia 2014 dia tidak dipanggil oleh pelatih Alejandro Sabella. Sayang sebenarnya melewatkan talenta langka milik Riquelme. Di Piala Dunia Germany Riquelme hanya sanggup membawa Argentina ke fase pererempat final saat menghadapi tuan rumah Jerman. Dengan formasi andalan 4-4-2 (4-1-3-2) ala Perkerman Argentina sebenarnya mampu unggul dahulu lewat gol dari pemain belakang Roberto Ayala memanfaatkan Corner Kick Riquelme dari sisi kanan lapangan 1-0 bertahan hingga menit 78. Suatu blunder yang dilakukan Pekerman dengan menarik Riquelme disaat tim masih unggul diganti dengan cambiasso pemain yang lebih bertahan mungkin maksud Pekermen untuk mempertahankan keunggulan namun berakhir fatal.



Dan 8 menit setelah Riquelme ditarik Jerman berhasil menyamakan kedudukan lewat sendulan Miroslav Klose pada menit 79. Praktis Argentina hanya mampu main bertahan karena tidak ada pemain yang mendistribusikan bola sebaik Riquelme, kreativitasnya mati. Selain itu Pekerman juga tidak menurunkan pemain belia Lionel Messi, mungkin bila Riquelme tidak ditarik dan Pekerman memasukkan Messi hasil akhir berpihak pada Argentina. Akhirnya Argentina kalah setelah adu pinalti namun banyak kontroversi dan kecurangan di laga itu mengingat Jerman adalah tuan rumah. Kiprah Riquelme harus terhenti disitu.





Banyak kalangan menilai Piala Dunia ini adalah penampilan terbaik Argentina selama berkiprah di turnamen tersebut mengalahkan penampilan di Piala Dunia 1986 ketika mereka juara. Argentina dibawah Pekerman dan Riquelme memainkan gaya bermain yang taktis dan sangat enak dilihat dengan skema serangan yang bertumpu pada Riquelme yang sanggup memainkan tempo pertandingan, dia bisa bermain dengan cepat ketika menerima umpan dan mengoper secara akurat baik umpan pendek maupun umpan atas jauh. Selain itu Riquelme juga menjadi Top Assist di turnamen tersebut mengalahkan playmaker Brazil Ronaldinho dan playmaker France Zinedine Zidane dgn catatan 6 assist.





















Setelah piala dunia karirnya di Villareal bukan bertambah baik malah menjadi buruk. Dia jarang dimainkan lagi, isu yang beredar Riquelme bersitegang dengan pelatih Manuel Pellegrini karena menuntut kebebasan dan meminta perlakuan istimewa.





Akhirnya di musim 2007 dia dipinjamkan ke klub yang membesarkan namanya Boca Jr untuk setengah musim. Di klub ini Riquelme kembali bangkit dan sekali lagi menunjukkan kelasnya sebagai playmaker jempolan. Di tanah kelahiranya masih banyak klub yang memainkan peran playamaker klasik, kepulangannya ke La Bombonera disambut meriah oleh fans Boca yang mengelu-elukan sang pahlawan. Dan dimasa peminjaman itu Riquelme berhasil membawa Boca kembali menjuarai Copa Libertadores dan berhak menjadi wakil Amerika Selatan yang berlaga di Piala Dunia Antar Klub. Namun sayang ketidakjelasan status Riquelme membuat dia tak bisa berlaga pada turnamen itu. Boca ingin mempermanenkan Riquelme namun tidak terjadi kesepakatan harga dengan Villareal, maka itu nama Riquelme tidak bisa didaftarkan di awal turnamen itu. Pada akhirnya Boca menyerah dari wakil Eropa Milan dengan skor 4-2 tanpa diperkuat Riquelme sebagai pengatur serangan. Namun pada akhir masa transfer windows Villareal bersedia melepas Riquelme ke Boca Jr, keputusan yang sudah terlambat dan merugikan Boca Jr. Bersama itu tamatlah karir seorang Riquelme ditanah eropa, meskipun dia masih 29tahun saat itu, usia emas seorang pemain sepakbola masa puncak. Namun Riquelme sendiri tak menyesali keputusanya itu. Hanya satu penyesalanya saat di Eropa dia tidak bergabung dengan Manchester United. Berdasar pengakuan dia baru-baru ini ketika masih bermain untuk Villareal dia mengaku didatangi pelatih MU Sir Alex Ferguson saat dihotel Inggris menjelang laga semifinal di Liga Champions melawan Arsenal. Fergie mungkin kepincut talenta hebat Riquelme yang sebelumnya juga sanggup menghentikan langkah Iblis Merah (julukan MU) di kompetisi itu. Namun Riquelme menolak karena sudah betah di Villareal, tetapi mungkin dia menilai keputusanya itu tidak tepat karena setelah itu dia malah sering dicadangkan. Itu mungkin menjadi alasan penyesalan Riquelme dan menjadikan dia pulang ke Argentina lebih dini.




Selain MU Riquelme juga sempat dikaitkan dengan Real Madrid, ketika playmaker mereka Zinedine Zidane akan pensiun seusai Piala Dunia 2006 Germany. Zidane sendiri yang meminta klubnya supaya membeli Riquelme dari Villareal. Mungkin Zidane menilai kualitas Riquelme cocok untuk menggantikan dia di Madrid. Namun saat masih rumor Riquelme membantah dia akan bergabung dengan Madrid. Mungkin karena dia pernah berseragam Barca dan akan sulit bila dia bergabung dengan Madrid nantinya, seperti yang pernah dialami Luis Figo dia menerima perlakuan tidak enak saat duel El Clasico. Pernyataan resmi dari Riquelme sendiri dengan rendah hati dia menilai dia hanya pemain biasa dan tidak suka dengan kata Galactico ( merujuk pada julukan Los Galacticos project presiden Madrid Florentino Perez yang mengumpulkan para mega bintang dari berbagai Negara seperti Ronaldo Brazil, Zidane, Figo, Beckham, Owen).









Turnamen internasional kembali lagi menyeruak kali ini Copa Amerika 2007 Argentina dengan nahkoda baru lagi setelah Pekerman AFA menunjuk pelatih Alfio Basile. Pelatih kali ini masih sama seperti pendahulunya, dia percaya kepada kemampuan Riquelme sebagai playmaker Argentina walaupun Timnas belum berprestasi lagi. Namun sangat disayangkan, lagi-lagi Argentina harus takluk kembali dengan musuh bebuyutanya rival abadi Brazil dengan skor 3-0 di partai puncak. Jelas kondisi ini sangat tidak mengenakkan bagi semua pendukung begitupun pemain. Pada turnamen ini Riquelme dalam urusan mencetak gol hanya kalah dari pemain Brazil Robinho dan pada turnamen sebelumnya ia juga kalah dari striker Brazil lainya Adriano. Mengingat posisi dia sebagai pemain tengah dan peran sebagai playmaker tentu itu adalah hal yang termasuk melebihi yang seharusnya dilakukan pemain normal dengan posisi yang sama. Meskipun Argentina selalu bermain impresif saat mengikuti turnamen mereka selalu kurang beruntung di partai Final. Serta pelatih yang kurang perhitungan selalu menjadi kendala


.

Dan turnamen terakhir yang diikuti Riquelme bukanlah turnamen resmi dari FIFA melainkan hanya Olimpiade U-23 Beijing 2008. Pelatih tim olimpiade Argentina U20 Sergio Batista mempercayakan Riquelme sebagai kapten dan membimbing pemain muda Argentina seperti Messi, Aguero, Di Maria, Lavezzi, Banega, Zabaleta, Garay, dan Romero yang kelak menjadi pemain inti Timnas Argentina Senior pada turnamen-turnamen mayor. Pada turnamen terakhirnya ini Riquelme berhasil membantu Argentina mempertahankan Medali olimpiade berturut-turut setelah Olimpiade 2004 Athena. Dan setelah ini dia tidak pernah lagi terlihat bersama tim Tango pada turnamen-turnamen mayor selanjutnya.




Di akhir kualifikasi Piala Dunia 2010 dia berselisih dengan pelatih Maradona sehingga memilih mundur dari timnas, Argentina hampir tidak lolos, namun akhirnya melaju ke Piala Dunia 2010 South Africa otomatis secara dramatis. Setelah awal yang meyakinkan Argentina harus terhenti menyakitkan akibat dibantai musuh bebuyutan Jerman dengan skor 4-0 di perempat final. Sesungguhnya 2010 ini adalah awal bagi Argentina untuk berprestasi karena seteru mereka Brazil mulai menurun dan regenerasi yang kurang berkualitas namun Maradona dengan keegoisannya tidak mau mengikutkan pemain-pemain berpengalaman seperti Riquelme dan Zanetti berhujung kegagalan.









Kemudian  Copa Amerika 2011 dengan pelatih Sergio Batista Argentina tidak memakai Riquelme lagi hanya sanggup melaju di semi-final setelah dikalahkan Uruguay lewat drama adu pinalti yang akhirnya menjadi juara di Turnamen itu bersama Forlan dan Suarez cs. Di Piala Dunia 2014 Brazil adalah pencapaian tertinggi bersama pelatih Alejandro Sabella Messi cs berhasil melaju hingga final menghadapi musuh lamanya Jerman sekaligus partai ulangan final Piala Dunia 1990 Italy saat maradona masih bermain dan yang mereka lawan masih bernama Jerman Barat. Lagi-lagi Argentina harus tertunduk sampai babak Extra time kedua lewat gol kemenangan Jerman yang dibukukan pemain pengganti Mario Goetze. Sekaligus menegaskan dominasi Jerman atas Argentina di pentas sepakbola terakbar 4 tahunan tersebut dengan rekor 3 kali bertemu 3 kemenangan diraih. Namun yang patut diperhatikan ke 3 kekalahan itu semuanya ketika Argentina tidak diperkuat playmaker jenius mereka Riquelme, perlu diingat saat pertemuan di Piala Dunia 2006 saat Riquelme ada Argentina sanggup unggul selama 78 menit. Dan tanpa dia Argentina selalu kalah. Itulah kesalahan setiap pelatih Argentina tidak menyertakan dirinya. Padahal Riquelme bisa menjadi kunci kesuksesan Argentina dengan umpan-umpan ajaibnya yang terukur, sebagai pengatur serangan handal, pendistribusi bola lapangan tengah, pengambil situasi bola mati yang ahli ( tendangan bebas dan sepak pojok ) yang bisa dimanfaatkan pemain lain untuk dijadikan gol kemenangan. Sayang sekali para pelatih tak pernah menyadari bakat dan talenta yang luar biasa dan sangat langka itu. Meraka malah hanya bergantung pada super star Barcelona Lionel Messi, walaupun dia hebat namun kemampuan playmaker murni tidak ada dalam dirinya. Jika diingat lagi Riquelme sanggup membimbing meraka (pemain muda Argentina) menjuarai olimpiade U20 maka kenapa dia tidak diikutkan lagi. Peluang juara akan semakin besar walau usia Riquelme sudah menginjak 35 tahun namun kualitasnya masih sanggup bermain di Turnamen besar. Di Copa America 2015 terakhir Riquelme sudah pensiun, Argentina melaju ke final dengan menghadapi Chile dan kalah dari alexis Sanchez cs.


Pada laga sebelumnya salah satu pemain tim Tango Angel Di Maria menyatakkan Argentina butuh pemain seperti Crespo dan Batistuta, merujuk pada striker legendaris tim Tango yang merupakan striker murni dan sangat berbahaya di kotak pinalti lawan karena insting dan finishing yang baik, serta handal dalam bola-bola atas karena ditunjang postur yang tinggi untuk ukuran pemain Argentina. Namun menurutku itu masih kurang jika tidak ada penyuplai bola sekelas Riquelme dilapangan tengah. Kehadiran striker murni dan playmaker klasik akan membuat tim menjadi sempurna. Dan faktor lain yang kurang aku sukai formasi yang diterapkan tim Tango selalu 4-3-3 dengan 3 penyerang, aku lebih suka dengan gaya formasi Pekerman 4-4-2 dengan 2 penyerang dan satu playmaker murni. Terbukti dengan pemain yang pas-pasan Pekerman bisa mengangkat performa Kolombia.

Di Boca Jr Riquelme bukannya tanpa masalah dimusim 2012 dia berseteru dengan pelatih Falconi karena gaya bermainya yang pragmatis, Riquelme berkata Falconi membuatnya seperti orang bodoh, sehingga dia sempat tidak dimainkan selama 7bulan. Dia juga sempat menyatakan ingin hengkang dari klub yang telah dia bela selama 2 periode itu. Alasanya karena kekalahan Boca dari Corintians di final Copa Libertadores membuat dia kecewa. Riquelme mengaku sudah tidak bisa memberikan kontribusi apapun lagi untuk Boca. Sudah tidak ada lagi yang bisa dia berikan untuk klub dia berkata. Namun para pendukung dan pemilik Boca Jr tidak ingin pemain kesayangannya itu pergi ke tim lain, gelombang protes dan dukungan untuk mempertahankan Riquelme pecah di berbagai tempat di Buenos Aires. Pihak klub menunjuk pelatih baru Carlos Bianchi untuk membujuknya kembali bergabung ke Boca. Awalnya Riquelme sudah berniat hengkang namun akhirnya dia bersedia bergabung untuk ke 3 kalinya ke boca pada awal musim 2013. Riquelme mengklaim nomer 10 di Boca Jr itu adalah Miliknya, ketika ada seorang pemain yang sanggup memenangkan Copa Libertadores lebih dari 3 kali barulah dia boleh memakai nomer itu, Riquelme sesumbar(namun pada akhirnya di tahun 2015 Carlos Tevez si anak hilang yang juga sempat membela Boca Jr sebelum berpetualang ke eropa pulang dari Juventus dia mengenakan nomer 10 yang ditinggalkan pemiliknya itu).







Hanya satu musim dia bertahan di Boca Jr sampai awal 2014 dia memutuskan pindah ke klub masa kecilnya Argentinos Jr. Misinya kali ini adalah membantu Argentinos Jr promosi ke kasta tertinggi Liga Argentina Primera Division dan dia berhasil membawa tim itu naik dari kasta ke dua liga Argentina. Setelah berhasil menuntaskan misinya banyak tawaran yang menghampirinya dari berbagai Negara tetangga salah satunya yang santer adalah klub asal Paraguay Cerro Porteno. Klub itu kabarnya akan menjadikan Riquelme pemain dengan gaji tertinggi di liga Paraguay, namun akhirnya Riquelme memutuskan berhenti sebagai pemain sepakbola setelah 18 tahun berkarir. Bunyi pernyataanya perpisahanya kurang lebih seperti ini : “Saya memutuskan untuk tidak lagi bermain sepakbola. Sekarang saya hanyalah supporter. Saya akan datang ke tribun dan akan ikut menderita bersama yang lainya. Saya Puas dengan karir saya. Saya menikmati sepakbola sampai ke level teratas. Semoga orang-orang juga menikmatinya sama halnya seperti saya. Sungguh saya menjalani masa-masa yang menyenangkan. Saya selalu memberikan yang terbaik untuk para penggemar Boca, Argentina, Barcelona, dan Villareal baik di tim junior maupun tim senior. Saya adalah seorang yang mengambil keputusan dengan tenang, dan berpikir dalam. Sudah jelas saya akan berlibur dan bersenang-senang dan menikmati setiap waktu bersama anak-anak saya. Mulai saat ini kehidupan sepakbola saya sudah berakhir, dan kehidupan baru saya dimulai. Kita lihat saja seperti apa kehidupan baru ini. Hari dimana saya tidak lagi bermain sepakbola adalah hari dimana saya pergi untuk minum the dengan ibu saya.” Riquelme sendiri mengaku bangga bisa memperkuat Boca Jr karena orangtuanya merupakan supporter dari Boca Jr.



Dan ketika Argentina masih mencari gelar yang tak kunjung didapat, Riquelme sudah memiliki kehidupan barunya. Namanya mungkin akan hilang begitu saja karena bintang sepakbola semakin hari semakin bertambah banyak. Akan tetapi para pecinta sepakbola sejati terutama penggemar Argentina tidak akan melupakan “si penyihir malas” begitu saja. Di tengah perubahan zaman dia seolah melawan tren dengan tetap bertahan dengan gaya sepakbola yang pertama kali dia kenal. Bagi dia bermain sepakbola adalah tentang kesenangan.  Jujur untuk saat ini dan seterusnya mungin belum ada yang akan bisa menyamai kemampuan playmaker Riquelme. Kelebihan dia adalah teknik tinggi dan menurutku hanya ada 2 pemain yang menyamainya selama aku menonton sepakbola yaitu Zidane dan Ronaldinho, passing yang akurat lihatlah di youtube dia selalu memudahkan rekan mencetak gol dari berbagai situasi open play maupun set-piece serta free kick dia yang bisa membuat kiper lawan melongo mungkin pirlo dan xavi masih dibawahnya untuk urusan ini, visi nya membaca pertandingan. Gerakkan-gerakan disertai teknik mengagumkan dalam melewati pemain lawan itu jugaa hanya bisa dibandingkan dengan Zidane dan Ronaldinho, gerakan-gerakan yang tidak pernah diajarkan disekolah sepakbola manapun. Walaupun Riquelme masih kalah dalam jumlah trofi untuk klub maupun Negara dari ke empatnya namun kualitasnya hanya sedikit dibawah Zidane. Orang seperti Riquelme dan Batistuta bisa saja memenagkan gelar apapun yang ada, jika mereka mau bergabung dengan tim-tim besar. Namun meraka memiliki prinsip sendiri didalam menjalani karir, mereka tak pernah menerima tawaran-tawaran yang datang. Merka lebih suka membela tim-tim yang tidak diisi banyak bintang namun merkalah yang akan mengangkat tim itu dengan kemampuan mereka. Kalau ada tantanga bisakah ronaldo dan messi berhasil bila memperkuat tim menengah? Belum tentu, namun Riquelme dan Batistuta sudah membuktikan walau mereka tak bisa membawa prestasi tertinggi. Namun itu sudah merupakan pencapaian luar biasa. Adakah pemain bintang yang tidak tertarik memperkuat tim besar? Mungkin tidak ada kecuali hanya Riquelme dan Batistuta.




Kini di tengah sepakbola modern lebih pragmatis dengan mementingkan hasil, serta mengabaikan etika dan sisi hiburan. Sepakbola berubah menjadi hanya menjalankan bisnis dan kualitasnya tak sebagus dulu. Semua hanya tentang kemenangan dan piala namun dengan cara yang kadang tidak seharusnya. Tak ada lagi pemain dengan skill dan teknik diperagakan diatas lapanagan seperti yang yang dilakukan Zidane Ronaldinho dan Riquelme yang begitu menghibur dan membuat penonton berdecak kagum, bagaimana mereka bisa melakukan itu? Yang ada hanya pemain yang berlomba-lomba membuat banyak gol an dia bisa memperoleh penghargaan sebagai pemain terbaik dunia.


Beruntung generasi yang pernah menonton aksi-aksi era Riquelme dan playmaker klasik lainya. Rasanya akan sulit menjelaskan pada generasi mendatang betapa bagus dan hebatnya pemain-pemain semacam Riquelme ataupun Batistuta, karena tak akan ada lagi tipe pemain seperti itu lagi mungkin untuk waktu yang lama. Terima kasih Riquelme atas segala yang pernah kau lakukan di sepabola. Kini sang playmaker klasik terakhir sudah berhenti menghibur penggemarnya. Dan dia sudah memutuskan untuk memulai hidup barunya. Selamat menikmati masa istirahatmu Roman! Vamos La Albiceleste