Jumat, 25 Desember 2015

Tribut Untuk Juan Roman Riquelme




Satu lagi bintang besar yang meninggalkan lapangan hijau. Dia adalah Juan Roman Riquelme. Playmaker 36 tahun itu dikenal karena memiliki skill istimewa dengan teknik passing dan tendangan bebas luar biasa.



DELAPAN belas tahun jelas bukan waktu yang singkat. Selama itulah Juan Roman Riquelme malang melintang di belantika sepak bola dunia. Nah, kemarin dia akhirnya memutuskan untuk gantung sepatu.
Pemain 36 tahun tersebut menempati posisi istimewa dalam jagat sepak bola dunia. Di tengah sepak bola modern yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan, Riquelme tetap bertahan
sebagai ’’seniman bola.’’ Dia mempertahankan gaya pergerakan
lambat alias slow-moving . Meski begitu, dia punya ciri khas bermain dengan teknik tinggi.


Produk akademi Boca Juniors itu adalah representasi paling sahih seorang playmaker yang identik dengan nomor 10. Riquelme memang bergerak lambat, namun mampu mengontrol penuh pertandingan dengan dribel yang flamboyan dan visi yang sangat indah. Riquelme dikenal sebagai pemain yang dapat mendikte tempo laga











Mungkin hanya Xavi Hernandez atau Andrea Pirlo yang punya kemampuan sekelas Riquelme. Selain itu, Riquelme diberkahi kemampuan untuk mencetak gol dengan baik, terutama dalam situasi bola-bola mati.




Tidak heran, ketika Riquelme pensiun, banyak yang merasa kehilangan. Salah satunya adalah bintang Chelsea Eden Hazard. ’’Juan Román Riquelme, thank you for everything ,’’ tulis pemain asal Belgia tersebut di akun Twitter .

 Riquelme pensiun sebagai pemain Argentinos Juniors setelah hengkang dari tim yang membesarkannya, Boca Juniors, pada Juni 2014. 

Sejatinya, pada
23 Januari lalu, Riquelme santer
diisukan akan bermain dengan tim
Primera Division Paraguay, Cerro
Porteño. Dia bakal menerima gaji USD
110 ribu atau sekitar Rp 1,3 miliar per
bulan. Riquelme pun menjadi pemain
dengan bayaran termahal di Paraguay.
Tetapi, tiga hari kemudian, Riquelme
mengumumkan gantung sepatu dan
mengucapkan terima kasih kepada
Cerro Porteno atas tawaran yang tidak
bisa dirinya terima.








Puncak permainan Riquelme adalah ketika bermain di Villarreal pada musim 2004–2005. Dia benar-benar menjadi inspirator dan ’’bekerja sendirian’’ untuk membawa klub berjuluk The Yellow Submarine itu menembus semifinal Liga Champions.

Dia membantu Villarreal menyingkirkan Manchester United dan Inter Milan dalam fase knockout .



Di Argentina, Riquelme adalah nama yang sangat dipuja. Dia memenangi lima gelar Primera Division bersama Boca.



Pada Piala Dunia Jerman 2006, Riquelme menjadi konduktor Argentina dan membuat permainan Tim Tango –sebutan timnas Argentina– sangat enak dilihat. Namun, Argentina hanya
sampai babak perempat final. 


Riquelme juga menyisakan kisah tragis.
Di Barcelona, dia ditolak entrenador waktu itu, Louis van Gaal. Dia cuma
bertahan semusim pada 2002–2003 sebelum kemudian dipinjamkan ke
Villarreal sampai 2005. Kontrak Riquelme dipermanenkan sampai 2007.







Isu-isu soal Riquelme di luar lapangan juga kadang tidak sedap. Saat bermain dengan Villarreal di bawah asuhan Manuel Pellegrini, Riquelme sering menuntut kebebasan. Bahkan, dia pernah menolak berlatih. Itulah yang membuat Riquelme hengkang dari Villarreal pada 2007 dan tidak lagi bermain di Eropa.














Meski begitu, Riquelme tidak menyesali kegagalannya berkarir di Eropa. ’’Saya menikmati sepak bola dalam tahap yang sangat maksimal. Saya ingin orang-orang bergembira bersama saya. Saya harap orang-orang menikmati permainan saya,’’ ungkapnya kepada ESPN. Kini tidak ada lagi kegembiraan tersebut.
***




Twitter: @fernanrahadi
"Jika kita harus berjalan dari A ke B, semua
orang akan masuk ke jalan tol dan mencapai
tujuan secepat mungkin. Semua orang kecuali
Riquelme. Ia akan memilih jalan yang berkelok-
kelok di pegunungan yang menghabiskan waktu
enam jam lamanya. Akan tetapi jalan itulah yang
membuat mata kita melihat banyak pemandangan
indah."
Kalimat yang diucapkan Jorge Valdano itu tidak
hanya pantas menjadi renungan para pecinta
sepak bola, namun juga semua orang di seluruh
dunia yang bahkan tak mengenal olahraga ini
sekalipun.
Legenda Argentina itu tengah membicarakan
seorang pesepak bola berbakat bernama Juan
Roman Riquelme. Di saat ribuan pemain dari
negaranya Evita Peron tersebut, juga di seluruh
dunia, memilih mengejar prestasi sebanyak
mungkin, Riquelme justru memilih jalan yang
sebaliknya.
Lahir dari keluarga miskin di San Fernando,
sebuah kota kecil di Argentina, Riquelme pertama
kalinya menjadi buah bibir dunia usai
memperkuat timnas Argentina U-20 pada
turnamen FIFA World Youth Championship di
Malaysia.




Pada turnamen tersebut, Riquelme yang saat itu
bertindak sebagai kapten mencetak empat gol dan
mengantarkan Albicelestes menjadi juara.
Bersama dengan rekan-rekannya seperti Esteban
Cambiasso, Pablo Aimar, dan Walter Samuel, ia
pun menjadi incaran klub-klub besar Eropa.
Salah satu yang getol mengincarnya saat itu
adalah AC Milan.







Meskipun demikian, ia memilih
memperkuat klub yang membesarkannya, Boca
Juniors. Klub berjuluk Bosteros itu pun dibawanya
menjuarai Piala Intercontinental 2000 usai
menjungkalkan jawara Liga Champions pada
tahun itu, Real Madrid.







Petualangan Riquelme di Eropa baru dimulai dua
tahun kemudian saat Barcelona membelinya
seharga 11 juta euro. Namun, kariernya bersama
klub Katalan itu tak berlangsung lama.





Karena sering tak dipakai pelatih Blaugrana saat itu,
Louis van Gaal, sang playmaker lebih memilih
dipinjamkan ke Villarreal.
Banyak yang tak menyangka Riquelme gagal
sukses di Barcelona, klub Eropa yang gaya
permainannya paling mendekati klub-klub
Amerika Latin. Namun sejak awal Van Gaal
tampaknya memang tak membutuhkannya. Ia
bahkan menyebut pembelian Riquelme sebagai
pembelian politis.






Van Gaal agaknya tak cocok dengan gaya
permainan Riquelme yang bertipikal playmaker
klasik. Apalagi pakem yang diusung pelatih asal
Belanda itu sejak di Ajax Amsterdam adalah total
football, dimana seluruh pemain harus memiliki
kontribusi dalam menyerang maupun bertahan.
Riquelme yang bekarakter 'pemain nomor 10'
jelas tidak memiliki kriteria tersebut. Ia lebih suka
mengatur temponya sendiri dan bergerak sesuka
hatinya. Ia jarang melakukan tekel dan membantu
pertahanan, bahkan saat kehilangan bola
sekalipun.


Di Villarreal, ia ternyata menemukan rumah baru.
Tidak hanya karena banyak pemain Amerika Latin
di sana seperti dua rekannya di timnas, Juan
Pablo Sorin dan Rodolfo Arruabarrena, serta
penyerang Uruguay Diego Forlan.




Namun juga
karena pelatih saat itu, Manuel Pellegrini, tahu
benar apa yang diinginkan Riquelme.
Pelatih yang kini menangani Manchester City itu
menempatkan pemain-pemain lain untuk
menyokong Riquelme yang menjadi poros
permainan tim. Hasilnya pun cukup mengejutkan
karena Villarreal, yang tidak banyak diperkuat
bintang, mampu menembus semifinal Liga
Champions 2006.






Pada Piala Dunia 2006 di Jerman, saat pelatih
Jose Pekerman memutuskan memanggil
Riquelme, banyak orang yang memandang
skeptis. Sang pemain dinilai sering
memperlambat tempo permainan tim. Namun hal
itu dijawab Riquelme dengan performa menawan
yang mengantarkan Argentina ke perempat final.



"Beberapa orang mengatakan Riquelme lamban.
Namun ia tidak lamban saat ia menguasai bola.
Memang sudah seharusnya bola yang lari, bukan
pemain," kata Pekerman terkait alasannya
memanggil pemain yang sudah seperti anaknya
sendiri itu.
Setahun usai memperkuat Argentina di Piala
Dunia 2006, Riquelme kembali membuat langkah
mengejutkan. Ia memutuskan kembali ke
kampung halamannya untuk memperkuat Boca
Juniors. Padahal saat itu usianya masih 28
tahun, usia emas untuk pemain sepak bola.



Sejak saat itulah nama Riquelme perlahan-lahan
menghilang dari pusat perhatian dunia. Apalagi
muncul banyak pemain muda Argentina yang
mengejutkan sepak bola Eropa seperti Lionel
Messi, Carlos Tevez, dan Sergio Aguero. Ia juga
tak lagi dipanggil La Albiceleste di Piala Dunia
2010 dan 2014.






Saat Riquelme memutuskan pensiun 26 Januari
2015 lalu, pada usia 36 tahun, tak banyak media
yang memberitakannya.





Ia memang tak
secemerlang Messi ataupun seglamor Cristiano
Ronaldo. Namun orang-orang seperti Valdano dan
Pekerman tahu bahwa sepak bola baru saja
kehilangan salah satu penghibur terbaiknya
***




 #Dikutip dari berbagai sumber metro tv, solopos dll
























Pengakuan Crespo Tentang Final Liga Champions Di Istanbul (Musim 2004/2005)



Final Istanbul, siapapun tidak akan melupakan
momen paling dramatis dalam sejarah final
Liga Champions tersebut, bagaimana tidak,
Milan yang pada babak pertama sudah
menghajar Liverpool dengan skor 3-0 justru
mampu disamakan di babak kedua oleh
Liverpool dengan skor 3-3, lebih dramatis lagi
ketika AC Milan kalah dalam adu penalti.
Mimpi untuk membawa gelar ketujuh trofi si
kuping lebar musnah, beruntung 2 tahun
kemudian mereka mampu membalas kekalahan
menyakitkan tersebut dengan skor 2-1 di Final
Liga Champions di Athens Yunani dengan
lawan yang sama, Liverpool.
Masih banyak orang yang penasaran dengan
apa yang sebenarnya terjadi di ruang ganti
Milan pada jeda babak pertama tersebut
sehinggga pada babak kedua mereka
melempem dan dipaksa menyerah oleh
Liverpool. Beredar rumor bahwa skuad Milan
saat itu sudah merayakan pesta juara di ruang
ganti karena mereka sudah unggul telak 3-0 di
babak pertama.
Namun kabar tersebut dibantah Hernan Crespo
yang merupakan bagian dari skuad Milan pada
saat itu, berikut ini petikan wawancara
eksklusif dengan Crespo :
Crespo: "Saya rasa laga tersebut adalah
bagian dari keindahan sepakbola, pertandingan
itu adalah bagian dari takdir, dari hal-hal yang
tidak bisa dijelaskan.. sejujurnya, bahkan
sampai hari ini saya masih tidak percaya kami
kalah pada laga itu."
Crespo: "Bagi saya berada bermain di final Liga
Champions untuk Milan adalah pengalaman
terbaik yang bisa saya bayangkan, saya
tumbuh menyaksikan tim besar seperti Milan
dengan pemain Belandanya, aku merasa
seperti saya tinggal mimpi.."
Crespo: "Saya memulainya dengan mencetak
dua gol dan yang lainnya dicetak oleh legenda
seperti Paolo Maldini, itu adalah salah satu
malam-malam di mana Anda dapat melakukan
segala sesuatu dengan mudah, semuanya
bekerja sesuai keinginan Anda."
Crespo: "Tidak ada pesta di ruang ganti [Pada
HT], cerita-cerita itu hanya gosip. Karena di
Milan kami memiliki pemain seperti Nesta,
Maldini, Pirlo, Gattuso, Seedorf, Shevchenko,
apakah Anda pikir mereka akan merayakan
setelah 45 menit? Justru sebaliknya!"
Crespo: "Ada beberapa dari mereka yang
membahas bagaimana kita tetap harus
bermain lebih baik, meskipun fakta kami sudah
mengalahkan Liverpool 3-0 di babak pertama.
Carlo [Ancelotti] pun tidak memberi kami
petunjuk khusus. Dia ingin kami untuk tetap
tenang, ia ingin memastikan kami tidak puas."
Crespo: "Kami tidak punya waktu [Dalam 6
menit di mana Milan kebobolan dalam 3 gol]
untuk berbicara satu sama lain, percayalah.
Benitez mengubah pertandingan dengan
bergerak: Didi Hamann datang di depan
pertahanan untuk menutupi pertahanan dan
membebaskan Steven Gerrard. Perubahan itu

menempatkan kami dalam situasi yang sangat
sulit Dan kemudian sesuatu yang hanya takdir
bisa mengendalikan terjadi."
Crespo: "Karena dipimpin gol Gerrard, Smicer
dengan tembakan yang kuat, dan kemudian
pinalti yang pertama kali diselamatkan Dida tapi
kemudian dtuntaskan oleh Alonso.Saya tidak akan
pernah lupa Dudek menyelamatkan gawangnya
dari upaya Shevchenko untuk mencetak gol,
sesuatu yang luar biasa. Saya percaya bahwa
Jerzy Dudek sampai hari ini masih tidak tahu
bagaimana ia menghentikan tembakan
Shevchenko kala itu."
Crespo: "Ketika Liverpool mencetak gol penalti
terakhir saya berkata pada diri sendiri "Tidak,
itu tidak benar bahwa saya akan pergi dan
mandi tanpa memenangi Liga Champions
ketika kami sudah unggul 3-0."
Crespo: ". Jadi saya duduk di belakang
fotografer, saya harus melihat dengan mata
saya sendiri bahwa Gerrard benar-benar akan
mengangkat trofi. Aku masih tidak bisa
percaya, itu tidak tampak nyata Mustahil
bahwa Gerrard lah yang akhirnya mengangkat
trofi. Dan ketika Steven akhirnya
mengangkatnya, saya berpikir " Jadi itu benar-
benar terjadi " lalu kemudian saya pergi ke
ruang ganti tanpa bisa bicara sepatah
katapun."
Crespo: "Bagaimana suasana di ruang ganti
setelah itu? Sederhana: seperti pemakaman."
Crespo: "Itu adalah saat yang sangat sulit,
bahkan tidak ada yang bisa berbicara ketika
kami kembali ke hotel. Beberapa rekan-rekan
menangis, yang lainnya memeluk istri dan
anak-anaknya, percayalah, itu adalah malam
yang sangat sulit."
***
Mantan striker
Parma, Hernan Crespo, mengaku sulit melupakan
kenangan manisnya bersama AC Milan. Crespo
mengungkapkan bahwa bermain bersama "I
Rossoneri" merupakan masa terbaik dalam
kariernya.
Crespo bergabung bersama Milan pada musim
2004/2005 setelah dipinjam dari Chelsea. Meski
hanya semusim, pemain asal Argentina itu tampil
gemilang dengan membawa Milan ke final Liga
Champions melawan Liverpool. Mantan pemain
Inter Milan itu juga sukses membuat dua gol di
pertandingan tersebut.
"Waktuku di Milan cukup sulit. Aku datang dari
Chelsea dan harus beradaptasi dengan sepak bola
Italia lagi. Kemudian aku mulai mencetak gol lagi
dan kami mampu mencapai babak akhir di semua
kompetisi," kata Crespo jelang pertandingan
Parma melawan Milan, Rabu (24/3/2010).
Mantan pemain Inter Milan itu sedih karena harus
meninggalkan "I Rossoneri" dan kembali ke
Chelsea. "Kurang lebih seperti itu (sedih). Ketika
Anda bermain di tim sebesar Milan, pikiran
terakhir yang ada di kepala Anda adalah
hengkang ke klub lain. Setelah melalui musim
fantastis dengan 18 gol, dua gol di antaranya di
final Liga Champions, aku pikir aku akan tinggal.
Milan pun berpikiran sama," ujar Crespo.





"Namun, (pemilik Chelsea Roman) Abramovich
tidak mengizinkannya. Ia menginginkanku kembali
ke Chelsea. Kenyataannya mereka tak bisa
membiarkanku tinggal di Milan setelah aku
mencetak gol di final Liga Champions dan ke
gawang Brasil," ungkap pemain 34 tahun
tersebut.(*)









***
Mantan penyerang
AC Milan Hernan Crespo akan senang bermain
untuk Rossoneri di kala mereka menang Liga
Champions 2007 melawan Liverpool. Pelatih
Parma Primavera tersebut mencetak dua gol saat
Milan kalah adu penalti dari Liverpool di final Liga
Champions 2005.
Namun, ketika Milan sanggup membalas dendam
dua tahun kemudian, ia sudah berganti kostum
membela Inter Milan. "Saya berhasil bermain
untuk Milan, tim yang saya cintai. Tapi, hanya
untuk satu tahun karena final Liga Champions
kami kalah," ujar Crespo kepada La Gazzetta dello
Sport, dilansir Forza Italian Football, Jumat
(12/9).
Menurut dia, kepergiannya memperkuat Inter
sangat disesalkan Wakil Presiden Adriano Galliani.
Dengan jujur, kata Crespo, Galliani mengaku
beberapa kali telah membuat kesalahan tidak
mempertahankannya.
"Saya kecewa tentang keputusan itu karena saya
tidak bisa membalas dendam melawan Liverpool
pada tahun 2007. (Alessandro) Nesta, (Andrea)
Pirlo, (Gennaro) Gattuso, (Cristian) Brocchi, dan
(pelatih Carlo) Ancelotti, 'Saya menerima pesan
dari beberapa pemain Milan' setelah menang Liga
Champions pada tahun 2007."



 
"Mereka menulis bahwa trofi CL juga adalah
milikku -. Dan berpikir bahwa saya bermain untuk
Inter pada waktu itu saya tidak akan melupakan
itu."
Crespo: "Stam dan saya seharusnya menjadi
bagian dari staf Seedorf di Milan. Tapi kemudian

dia meneleponku dan mengatakan bahwa
kesepakatan itu sangat sulit tercapai







***  
#Dikutip dari berbagai sumber



















Kamis, 24 Desember 2015

Wenger Tak Takut Batistuta

Senin, 25 November 2002 Olahraga
Arsenal Tak Takut Batistuta
LONDON - Arsene Wenger menegaskan, Arsenal tak gentar menghadapi musuh lamanya Gabriel Batistuta
ketika mereka mengawali putaran kedua Liga Champions Eropa Grup B melawan tuan rumah AS Roma,
Rabu lusa.
Tendangan pemain Argentina itu mengubur ambisi Arsenal di Liga Champions pada fase pertama grup tiga
tahun lalu ketika Batistuta masih bermain untuk Fiorentina.
"Saya masih mengingat gol itu, yang seperti kejutan. Saat itu tentu poin terendah kami di Liga Champions,"
kata Wenger.
"Dia masih seorang pemain berbahaya. Dia memiliki rekor luar biasa di Italia," tambahnya.
Pelatih asal Prancis itu mengemukakan, Batistuta pada 1999 lebih muda dan tajam. Kini secara fisik dia tak
setajam beberapa tahun lalu. Meski demikian, timnya tetap harus berhati-hati.
Banyak Belajar
"Kami telah banyak belajar dari putaran pertama grup musim ini. Kami memenangi tiga pertandingan
pertama, dan itu membawa kami pada posisi kuat, kendati kemudian kami sedikit goyang."
Wenger menuturkan, satu poin merupakan target masuk akal di Roma. Namun dia menginginkan sebuah
kemenangan.
Striker Roma Francesco Totti lebih diperhatikannya daripada Batistuta. "Dia dapat membuat mereka
berbeda, terutama di Roma. Saat ini dia tidak bermain dan kami tak gembira jika dia absen saat melawan
kami."
Dengan Dennis Bergkamp yang absen karena takut terbang, Wenger mempertimbangkan untuk
menggunakan Fredrik "Freddie" Ljungberg sebagai partner Thierry Henry di lini depan.
"Ini sebuah pilihan yang menarik. Freddie dapat berdiri di belakang para pemain belakang, tetapi saya
memiliki pilihan lain seperti Sylvain Wiltord dan Francis Jeffers."
Bergkamp mencetak satu gol dalam pertandingan liga Sabtu lalu, namun tak dapat mencegah kekalahan
2-3 dari Southampton. Arsenal masih di puncak klasemen dengan keunggulan satu poin atas Liverpool.
(rtr,A7-59)