Nama Hernan Crespo sudah
tidak asing lagi bagi pecinta sepakbola era 90an dan 2000 awal. Dia adalah
salah satu striker terbaik Argentina
bertipikal striker murni. Di eropa dia mengawali karir di Parma. Setelah terbilang
sukses di Parma dia di beli oleh Lazio tim
yang baru saja menjuarai Liga Serie A Italia, bahkan dia sempat memegang rekor
transfer saat itu sebelum dipecahkan oleh playmaker France Zinedine Zidane. Namun
disaat itu pemilik klub Lazio mengalami kejatuhan financial dan terpaksa
menjual para pemain bintangnya, tak terkecuali Crespo.
Akhirnya Inter Milan menjadi pelabuhan selanjutnya bagi
Crespo, dia menggantikan Ronaldo Brazil yang hengkang ke Real Madrid serta
mewarisi nomer jersey nya juga. Tak bertahan lama di Inter, klub Inggris yang
sedang membangun tim besar dengan pemilik baru Roman
Abrahamovic yakni Chelsea menginginkan jasanya di Stamford Bridge. Lewat pelatih Claudio Ranieri Chelsea berusaha mendatangkanya. Sesungguhnya
Crespo sudah betah di ranah Italia namun petinggi Inter sudah memutuskan dia
akan di jual.
Jadilah Chelsea tim selanjutnya
bagi Crespo. Kultur di Britania nampaknya
tidak cocok untuk seorang Crespo dia tidak bisa mengeluarkan performa terbaiknya.
Lalu terjadi pergantian pelatih di tubuh Chelsea, Claudio
Ranieri digantikan pelatih yang baru saja sukses mengantar Porto sebuah
klub di Portugal meraih kesuksesan luar biasa salah satunya menjuarai Liga
Champions, dia adalah Jose Mourinho. Nampaknya
pemilik Chelsea serius dengan berambisi menjadikan klubnya menjadi tim yang bersaing
dengan tim-tim besar lain. Dana besar dia sediakan untuk membangun Chelsea
dengan cara mendatangkan banyak pemain berkelas yang dibutuhkan Mourinho, salah
satunya penyerang asal Pantai Gading Didier Drogba
dari Marseille. Karena sama-sama berposisi
striker utama maka Mourinho memberitahu Crespo supaya dia bisa beradaptasi
dengan pemain baru yang mungkin akan saling bergantian di mainkan. Namun disaat
itu datang tawaran dari Italia, dari AC Milan
pelatih Carlo Ancelotti menginginkan peran Crespo
karena salah satu striker mereka Filippo Inzaghi
dilanda cedera panjang.
Crespo pun di pinjam untuk semusim dan kali ini membela
Milan rival mantan klubnya dulu Internazionale.
Di sini dia menemukan bentuk permainanya kembali. Gol demi gol lahir dari kaki
dan kepalanya. Performa Milan pun juga menanjak sejak kehadiranya, duetnya
bersama penyerang Ukraina Andriy Shevchenko
menjadikan lawan tidak bisa tenang karena bahaya yang selalu mengancam meraka. Selain
itu karena Milan saat itu diisi oleh
pemain-pemain hebat lainnya antara lain Kiper Nelson
Dida, Bek tengah Nesta dan Stam, bek sayap Cafu dan
Maldini dilini tengah ada nama semacam Clerence Seedorf, Ricardo Kaka, Manuel Rui Costa, Genaro
Gattuso, dan Andrea Pirlotim ini menjelma
menjadi tim yang begitu kuat mungkin yang paling kuat yang pernah aku lihat
karena keseimbangannya mulai dari lini belakang yang tangguh, lini tengah yang
dihuni pemain berkelas, dan striker mautnya.
Di Liga ChampionsCrespomemegang peranan penting bagi Milan dalam
mencapai Final, sebelum melawan Liverpool Milan
harus menjalani pertandingan tak kalah bergengsi melawan tim England lainya
yaitu si Iblis Merah Manchester Unitedtanpa
striker andalan mereka Sheva. Namun Ancelotti bukanlah pelatih semenjana, dia pelatih yang
bagus. Milan memainkan formasi satu penyerang dialah Crespo yang merupakan pemain
pinjaman, hasilnya? Sungguh tepat strategi dari Don
Carletto kepercayaan yang ia berikan tidak disia-siakan. Crespo menunjukkan kelasnya sebagai pembeda di dua
laga yang harus dilalui.
Laga pertama di Old Trafford kedua
tim bermain menyerang dan sama-sama kuat, sampai pada saat Crespo mencuri gol kemenangan. Berawal dari sepakan
keras Seedorf bola tak mampu ditangkap sempurna
oleh kiper MU dilaga itu Casey Carrol,
bola liar sesegara diperebutkan oleh Carrol dan Crespo yang datang dari garis
pertahanan MU, celakanya Crespo lebih cepat dan berhasil menceploskan bola ke
gawang MU. Salah satu kelebihan Crespo dia bisa membaca arah bola, positioning
dia sangat baik, dan respon dia juga lebih cepat dibanding pemain belakang
lawan.
Laga kedua di San Siro pun
tak kalah seru, keduanya masih sama-sama menyerang demi bisa mencetak gol
secepat mungkin, pertandingan juga terlihat sama-sama kuat. Namun lagi-lagi Crespokeluar
sebagai protagonis melawan tim besutan Fergie
itu yang dihuni Cristiano Ronaldo, Rooney,
Nistelrooy, Giggs, Scholes, Roy Keane, Ferdinand, Gary Neville. Berawal saat
Milan menguasi bola disisi pertahanan mereka Nesta melihat posisi Cafu
yang bebas disisi depan kanan dan dia langsung memberi umpan jauh yang terukur,
sebentar menguasai bola Cafu langsung mengirim
Crossing ke depan gawang MU disana ada Crespo
yang dijaga Ferdinand. Ferdinand tak bisa
menjangkau bola yang terlalu tinggi itu namun Crespo
mampu melompat untuk menyambut umpan yang ditujukkan kepadanya itu dan
Boom!!! Dengan cedik Crespo mengarahkan bola ke tiang jauh sebelah kanan tanpa
bisa di cegah kiper MU di pertandingan itu Tim Howard.
Gol semacam itu juga menjadi satu kelebihan Crespo yaitu duel udara dan
sendulan mematikan. MU pun dipastikan tersingkir dan Milan yang berhak lolos
dengan agregat 2-0 berkat Crespo. Beruntung
juga Milan meminjamnya saat itu dari Chelsea.
Kemudian final melawan Liverpool
semua orang sudah mengetahui hasilnya. Sesungguhnya Milan bisa juara saat itu
namun keberuntungan belum berpihak dengan meraka. Unggul 3-0 di babak
pertama bahkan Crespo mencatatkan dua gol di laga final, jarang ada
pemain yang bisa melakukan itu seingatku hanya Inzaghi
(2007) dari Milan dan Millito (2010) dari Inter
yang bisa menyamainya. Gol pertama ia memanfaatkan assist Sheva melalui situasi serangan balik, sekali lagi
dia terbantu karena positioning dia yang baik. Gol kedua juga dari serangan
balik dari pertahanan Milan Kaka mengirim umpan
direct ke pertahanan Liverpool yang gagal
dihentikan bek, disana bola diperebutkan oleh Crespo dan Dudek yang maju
ingin menjemput bola. Namun tampaknya Crespo lebih cepat dan tanpa control Crespo langsung men-chip bola melewati Dudek,sungguh finishing yang
berkelas, brilliant, dan cantik dari seorang penyerang hebat. Namun sayang
2 gol itu tak mampu memenagkan Milan. Dibabak kedua semua berubah
Liverpool bangkit dan sanggup menyamakan kedudukan menjadi 3-3, Crespo
sendiri diganti jelang akhir laga normal dengan penyerang John Dahl
Tommasen. Pada akhirnya Milan kalah adu pinalti, Dudek menjadi
pahlawan berkat penyelamatan pinalti dari Pirlo
dan Sheva. Kejadian itu sangat memukul seluruh
pemain Milan tak terkecuali Crespo sendiri, dia hampir tidak percaya
semua itu terjadi. Mentalnya pun jatuh dan sempat ingin pensiun dini namun
akhirnya urung terjadi.
Setelah final itu, dia tidak dipermanenkan oleh
Milan, dia kembali ke klubnya dari masa peminjaman. Berikut pernyataan dia yang
membuka kisah sebenarnya dulu : “Waktuku di Milan cukup sulit. Aku datang dari Chelsea dan
harus beradaptasi dengan sepak bola Italia lagi. Kemudian aku mulai mencetak
gol lagi dan kami mampu mencapai babak akhir di semua kompetisi," kata
Crespo jelang pertandingan Parma melawan Milan, Rabu (24/3/2010). Mantan pemain
Inter Milan itu sedih karena harus meninggalkan "I Rossoneri" dan
kembali ke Chelsea. "Kurang lebih seperti itu (sedih). Ketika Anda bermain
di tim sebesar Milan, pikiran terakhir yang ada di kepala Anda adalah hengkang
ke klub lain. Setelah melalui musim fantastis dengan 18 gol, dua gol di
antaranya di final Liga Champions, aku pikir aku akan tinggal. Milan pun
berpikiran sama," ujar Crespo. "Namun, (pemilik Chelsea Roman)
Abramovich tidak mengizinkannya. Ia menginginkanku kembali ke Chelsea.
Kenyataannya mereka tak bisa membiarkanku tinggal di Milan setelah aku mencetak
gol di final Liga Champions dan ke gawang Brasil," ungkap pemain 34 tahun tersebut.(*)
Dan satu lagi : “Saya berhasil bermain untuk Milan, tim yang saya cintai.
Tapi, hanya untuk satu tahun karena final Liga Champions kami kalah," ujar
Crespo kepada La Gazzetta dello Sport, dilansir Forza Italian Football, Jumat (12/9).
Menurut dia, kepergiannya memperkuat Inter sangat disesalkan Wakil Presiden
Adriano Galliani. Dengan jujur, kata Crespo, Galliani mengaku beberapa kali
telah membuat kesalahan tidak mempertahankannya. "Saya kecewa tentang
keputusan itu karena saya tidak bisa membalas dendam melawan Liverpool pada
tahun 2007. (Alessandro) Nesta, (Andrea) Pirlo, (Gennaro) Gattuso, (Cristian)
Brocchi, dan (pelatih Carlo) Ancelotti, 'Saya menerima pesan dari beberapa
pemain Milan' setelah menang Liga Champions pada tahun 2007."Mereka
menulis bahwa trofi CL juga adalah milikku -. Dan berpikir bahwa saya bermain untuk Inter
pada waktu itu saya tidak akan melupakan itu."
Jika dilihat-lihat dari beberapa gol yang dibuat oleh Crespo
seolah-olah bola itu menghampiri dirinya. Dia pandai mencari ruang dan posisi
untuk mencari arah bola dan secepat mungkin memanfaatkannya dibanding pemain
lain. Karena tipikal dia adalah striker murni yaitu tugas dia mencetak gol dan menunggu
bola, Crespo bukan tipe penyerang dengan kecepatan ataupun dribble menawan,
meskipun begitu dia punya respon yang cepat terhadap bola. Selain itu dia
memiliki teknik yang lumayan cukup baik untuk seorang penyerang, finishing dia
juga bagus dia sering mencetak gol lewat kaki kanan kadang kaki kirinya sama
baiknya dan juga dia ahli duel udara tak jarang dia mampu membobol gawang lawan
dengan kemapuan sendulanya yang sangat baik dari berbagai situasi dia sanggup
menjadikan bola itu mengarah deras ke gawang lawan.
Dia berbeda dari Ronaldo Brazil yang punya dribble hebat
dalam melewati pemain lawan, atau Del Piero yang punya teknik yang lebih baik dari
dia dan juga ahli tendangan bebas, atau Henry dan Sheva yang memiliki kecepatan
dalam melewati lawan. Dia hanyalah striker murni yang menunggu bola dan
memanfaatkanya, striker yang memiliki tipikal seperti dia ada beberapa seperti Miroslav
Klose, Raul Gonzales, David Trezeguet, Christian Vieri, Fernando Morientes,
Didier Drogba. Namun sekarang hanya tersisa beberapa antara lain Robert
Lewandowski, Edin Dzeko, Andy Carrol, Fernando Llorente, Karim Benzema.
Kisah seorang Hernan Crespo di AC Milan adalah kisah yang
menyedihkan dan mungkin terlupakan, lewat tulisan ini aku berharap kisah ini akan
dikenang kembali dan untuk sekedar mengingat dalam hidup itu ada masa-masa
sulit yang bisa hadir tanpa diinginkan seperti yang dialami Crespo. Terimakasih
atas gol-gol yang kau berikan selama berseragam Milan Valdanito, Grazie Hernan!Vamos La
Albiceleste
Kemarin, legenda Inter, Hernan
Crespo menjadi tamu dalam acara Inter
Legends yang tayang di Inter Channel.
Berikut apa saja yang disampaikan oleh Crespo:
Saat di River Plate:
“Saya mulai bermain sejak umur 6 tahun hingga 10 tahun,
namun pada usia 10 hingga 16 tahun, saya lebih sering duduk dibangku cadangan,
saya menjadi pemain ke 12. Namun di musim berikutnya, pelatih memberikan
kepercayaan kepada saya dan saya memainkan 21 laga dengan torehan 23 gol,
jumlah yang cukup banyak untuk pemain berumur 17 tahun. Mulai sejak saat itu,
petualangan saya dimulai, hingga akhirnya memenangkan Copa Libertadores tahun
1996.”
Saat di Parma:
“Saya setuju bergabung dengan Parma sebelum Copa Libertadores dimulai. Mereka melihat saya
saat pra Olimpiade dan kami langsung menentukan harga saat itu. Tidak ada
orang di River yang membayangkan jika saya
‘meledak’ pada tahun itu. Saya menjadi pencetak gol terbanyak di
Libertadores, Olimpuade dan bahkan mengalahkan Ronaldo. Bahkan presiden
Argentina berkata, Anda tidak bisa menjual Crespo dengan harga segitu.”
Tentang Ronaldo:
“Tidak ada perbandingan dengannya. Ronaldo jauh berubah.
Ronaldo adalah Ronaldo dan kami memiliki perbedaan dari berbagai hal. Ia
sungguh fenomenal. Ia memiliki kecepatan serta drible nya sungguh
mengerikan.”
Saat di Lazio:
“Musim pertama di Lazio
bersama Eriksson sungguh sulit. Kami saat
itu berstatus sebagai juara bertahan dan mungkin kami sedikit santai. Kemudian
Eriksson memutuskan hengkang untuk melatih
Inggris. Kemudian pihak klub mendatangkan Poborsky
dan mengangkat Zola sebagai pelatih dan tim
mulai menanjak.”
Hengkang ke Inter:
“Lazio mengalami masalah dengan keuangan klub dan harus
memaksa mereka melepas para pemainnya. Nedved,
Veron, Mendieta dan De La Pena hengkang. Mencari pengganti para pemain
ini sangat sulit. Dan kemudian dilanjutkan dengan kepindahan saya ke Inter dan Nesta ke
Milan. Saya masih ingat kepindahan saya ke Inter, dimana semua
bergantung kepada nasib Ronaldo, jika ia pindah ke Madrid, saya akan pindah ke Inter, namun jika Ronaldo
bertahan, saya yang akan pindah ke Madrid.”
Tentang Vieri:
“Dia adalah sosok yang luar biasa. Ketika bergabung dengan
Inter membuat saya merasa seperti di rumah sendiri. Ketika Anda berjalan ke
ruang ganti dan melihat ada sosok penyerang hebat seperti Vieri akan otomatis membuat Anda merasa dia adalah
seorang primadona. Hal yang sama yang saya alami di Chelsea
ketika diperkuat Drogba dan Shevchenko. Saya banyak belajar dari Bobo, salah satunya dalam hal menyundul
bola yang membuat saya semakin kuat dalam duel udara. Sebelumnya saya
sangat jarang melakukannya. Selalu mempelajari hal baru membuat Anda semakin
berkembang dan bertambah kuat.”
Cedera:
“Ketika menghadapi Modena, saya mengalami cedera. Saya
menghabiskan tiga bulan untuk menyembuhkan cedera itu, rekor cedera terpanjang
saya. Saya merasa karir saya berakhir kala itu. Saya berkata kepada Cuper waktu menghadapi Modena jika saya sudah
tidak kuat lagi untuk menendang karena kaki saya sangat sakit rasanya. Saya
masih bisa berlari, namun ketika melakukan tendangan, rasanya sakit luar biasa,
seperti Anda di operasi tapi tanpa diberi bius.”
Derby Milano di Eropa :
“Kami kala itu bermain tanpa diperkuat Bobo. Walaupun kami memiliki Recoba, namun Bobo
adalah sosok yang berbeda dan penting, namun inilah sepakbola. Kami
mengalami kekalahan di laga pertama dan memaksakan hasil imbang di laga kedua semi final Liga Champions.”
Saat di Chelsea:
“Itu adalah masa yang sulit. Saya tidak ingin
meninggalkan Inter, mungkin saya akan
memilih lari sambil menangis karena saya tidak ingin meninggalkan tim ini.
Kasih sayang yang saya terima dari para fans sungguh luar biasa. Saya belum
memberikan yang terbaik untuk tim ini. Selalu finish dibawah Juventus
membuat saya terganggu. Saya memimpikan meraih Scudetto di Italia. Tapi
para petinggi Inter sudah memutuskan dan saya harus menerimanya.”
Saat di AC Milan:
“Sepakbola membuat Anda tersenyum. Saya membawa teman saya
yang seorang Interista ke Istanbul untuk
menyaksikan laga Milan – Liverpool. Namun yang
terjadi seminggu kemudian adalah saya menjadi bahan olokan. Inter kala itu bermain di laga final Copa Italia. Teman saya itu ada di Curva Inter di San Siro dan mereka mulai bernyayi
tentang apa yang menimpa kami (Milan) di Istanbul. Istanbul adalah mimpi
buruk saya.”
Mengenai Mourinho:
“Saya mengenal Jose dan
ia berkata ketika saya di Chelsea jika: Anda
adalah seorang penyerang tengah dan ada Didier
Drogba yang akan datang, jadi Anda harus bisa beradaptasi. Kemudian saya
berkata kepadanya jika Ancelotti
menginginkan saya di Milan dan saya kemudian
hengkang ke Milan dan mereka mendatangkan Kezman. Kemudian saya kembali ke Chelsea usai final Liga Champions di Istanbul dan mereka
sudah berubah menjadi tim yang luar biasa. Musim itu kami mampu keluar
sebagai juara dan kami berhasil meraih 95 poin di akhir musim. Sebenarnya
kami bisa meraih 100 poin, namun dua laga terakhir kami tidak melakukan
persiapan dengan baik karena banyak pemain yang lebih mempersiapkan diri mereka
untuk piala dunia.”
Gol ke 200:
“Mencetak 200 gol dalam karir adalah sesuatu kebanggaan
tersendiri bagi saya. Gol pertama saya dicetak ke gawang Inter ketika saya
masih bermain untuk Parma, dan gol ke 200 saya di cetak ke gawang Parma.
Itu merupakan catatan yang luar biasa. Di akhir musim 2006-2007, kami berhasil
merengkuh Scudetto, yang merupakan Scudetto pertama yang kami raih dilapangan
dalam beberapa tahun terakhir. Para fans harus menikmati momen ini.”
Kembali ke Parma:
“Saat itu, saya berkesempatan berlaga di Europa bersama
Genoa, namun kemudian Parma datang ingin membawa pulang. Ini adalah bentuk
cinta mereka kepada saya. Saya baik-baik saja secara mental, namun secara
fisik saya mulai lelah. Saya mencoba memberikan yang terbaik disana, di
sisa karir saya. Saya bertarung untuk menghindarkan mereka dari degradasi. Saya
sangat bangga atas apa yang saya lakukan.”
Dia tinggi, wajahnya selalu murung ketika memasuki
lapangan menjelang pertandingan, banyak pihak yang mengkritik gaya bermainya
yang lambat dan malas bergerak. Namun ketika bola sudah berada dalam
penguasaanya akan sulit untuk pemain lawan merebutnya. Dia membungkam para
pengkritik dengan aksi-aksi menawan dan juga umpan-umpan dekat maupun jauh
dengan presisi dan keakuratan tinggi. Tak jarang dia juga membuat
gerakan-gerakan yang membuat penonton berdecak kagum dengan teknik yang dia
miliki. Konon gerakan itu tidak diajarkan disekolah sepakbola manapun ataupun
di sekolah sihir. Dia mempelajarinya sendiri di jalan-jalan di tanah
kelahiranya sejak masih kecil (sampai sini lupa artikelnya aku cari lagi gak
ketemu-ketemu :ngakaks: )
Dia adalah Juan Roman Riquelme
( bacanya Huan Roman Riqelme! ) banyak yang ingin kutulis mengenai dirinya. Berposisi
sebagai pemain tengah dia berperan sebagai playmaker. Bukan sembarang playmaker
dia adalah seorang playmaker classic no.10yang terakhir mungkin, karena
setelah dia tidak ada lagi pemain bertipikal seperti dia. Dulu di era 80-90an
banyak playmaker klasik terlahir seperti Maradona, Roberto Baggio, Michel Platini, Ruud Gullit, Lothar
Matheaus, Enzo Francescoli, Valderama, George Hagi dan tentu saja Zinedine
Zidane. Mereka bermain lebih mengandalkan teknik tinggi dan kecerdasan,
visi yang baik, drible mumpuni, operan-operan yang jitu dan kemampuan mencetak
gol yang harus baik juga, serta sebagai free kick ataupun set-piece taker yaitu
pengambil tendangan pada situasi dead ball/bola mati.
Pun Riquelme dia memiliki itu
semua juga, para kalangan menyebut Riquelme semestinya bermain di era 90an dan
dia sanggup menjadi pemain terbaik dunia setiap tahunnya, karena di era modern
sekarang ini peran playmaker classic sudah ditinggalkan. Pelatih revolusioner semacam Van
Gaal, Mourinho, Marcelo Bielsa dan Pep Guardiola sudah pasti tak akan
membutuhkan pemain semacam Riquelme. Karna mereka lebih memilih pemain yang
banyak bergerak sedangkan Riquelme adalah pemain yang hanya menunggu bola diberikan
kepadanya, serta tidak berkewajiban membantu pertahanan. Dia tersisihkan dan
terbuang dari petualangannya di Eropa karena iklim sepak bola yang berubah,
para pelatih tidak meminati lagi jasa playmaker klasik dan memang hanya tersisa
dia saja setelah Zinedine Zidane.
Bersama Boca Jr ia meraih berbagai presatasi apertura clausura liga Argentina, hingga membawa
Boca Jr menjuarai Copa Libertadores dan
bertarung di Piala Intercontinental melawan Juara Liga Champions Eropa Real Madrid. Boca Jr pun
memenangi kejuaraan tersebut dengan skor 1-0 berkat Martin
Palermo dan Riquelme, bayangkan tim dari Argentina yang hanya bermaterikan
pemain lokal saja sanggup mengalahkan kekuatan tim eropa dengan dukungan
pemain-pemain terbaik dari berbagai Negara? Sungguh pencapaian yang luar biasa.
Di tahun berikutnya Boca berhasil menjuarai Copa Libertadores lagi namun sayang
mereka kalah di Piala Intercontinental melawan Bayern
Munchen. Tak banyak tim yang mampu ke final Piala Intercontinental
berturut-turut.
Usai kegemilanganya bersama
Boca klub Spanyol Barcelona kepincut merekrut
pemain berjuluk “si penyihir malas” ini pada musim 2002/03. Namun pelatih Barca
saat itu van Gaal
menyebut pembelian Riquelme sebagai bagian dari politik. Sang meneer kurang
sreg dengan gaya main riquelme yang klasik. Dia jarang menurunkan Riquelme
sebagai starter, sekali dimainkan Riquelme diposisikan menjadi winger, posisi
yang sangat asing baginya. Mungkin sang meneer ingin dia lebih banyak bergerak
dan berlari dengan memplot dia sebagai sayap. Bermain bukan pada posisinya
membuat Riquelme tidak berkembang.
Di timnas Argentina
pelatih saat itu Marcelo
Bielsa meninggalkanya untuk berlaga di pentas Piala
Dunia 2002 Korea-Japan yang seharusnya menjadi Piala Dunia pertama bagi
Riquelme. Bielsa kurang menyukai gaya bermainya yang lambat dan lebih memilih
playmaker Lazio Juan Sebastian Veron, Argentina akhirnya gagal total di
turnamen itu karena tidak lolos dari fase grup yang merupakan prestasi
terburuk.
Setelah itu Riquelme
dipinjamkan ke Villareal mulai musim 2003 dan
disini Riquelme mulai menemulkan bentuk permainanya dibawah asuhan pelatih Manuel Pelegrini yang berasal dari Chile serta
pemain-pemain yang berasal dari Amerika Selatan seperti Diego Forlan dari Uruguay dan kompatriotnya sendiri Juan Pablo Sorin
dari Argentina membuat adaptasi di Villareal
menjadi mudah. Bersama tim ini Riquelme sanggup memberikan 2 trofi Piala
Intertoto ( turnamen tingkat 3 setelah Liga Champions dan UEFA Cup). Dan
puncaknya membawa Villareal ke fase
Perempat-final Liga Champions setelah menyingkirkan Manchester
United dan Inter Milan, namun
terhenti melawan Arsenal dimana dia gagal
mengeksekusi hukuman pinalti yang berpeluang membawa Villareal
ke final melawan Barcelona(mantan
timnya),
di musim 2005/06.
Pada turnamen internasional
selanjutnya Argentina memiliki nahkoda baru, dialah Jose
Pakerman. Sosok yang tidak asing bagi Riquelme, dialah pelatih tim muda
Argentina U-20 yang menjuarai Piala Dunia U-20 di
Malaysia dan Riquelme menjadi bagian bersama Walter
Samuel, Esteban Cambiasso dll. Yang pertama Copa
America 2004 Argentina sampai difinal namun dikalahkan Brazil lewat adu pinalti 4-2 skor saat pertandingan
normal 2-2. Kemudian pada piala Konfederasi 2005
mereka bertemu lagi di final, lagi-lagi Riquelme harus menaggung malu karena
dikalahkan Ronaldinho cs dengan skor mencolok
4-1. Memang Skuad Argentina kala itu masih kurang pemain top dibanding Brazil
yang saat itu masih dihuni generasi emas seperti Ronaldinho,
Dida, Lucio, Gilberto Silva, Ze Roberto, Roberto Carlos, Cafu, Adriano, Ronaldo
yang semua bermain di tim Elit eropa.
Selanjutnya
Piala Dunia 2006 akhirnya menjadi Piala Dunia pertama dan terakhir Riquelme
karena setelah ini Riquelme bermasalah dengan pelatih tim tango seperti di
Piala Dunia 2010 dia berseteru dengan Maradona, dan di Piala Dunia 2014 dia
tidak dipanggil oleh pelatih Alejandro Sabella. Sayang sebenarnya melewatkan
talenta langka milik Riquelme. Di Piala Dunia Germany Riquelme hanya sanggup
membawa Argentina ke fase pererempat final saat menghadapi tuan rumah Jerman. Dengan formasi
andalan 4-4-2 (4-1-3-2) ala Perkerman Argentina sebenarnya mampu unggul
dahulu lewat gol dari pemain belakang Roberto Ayala
memanfaatkan Corner Kick Riquelme dari sisi
kanan lapangan 1-0 bertahan hingga menit 78. Suatu blunder yang dilakukan
Pekerman dengan menarik Riquelme disaat tim masih unggul diganti dengan
cambiasso pemain yang lebih bertahan mungkin maksud Pekermen untuk
mempertahankan keunggulan namun berakhir fatal.
Dan 8 menit setelah Riquelme
ditarik Jerman berhasil menyamakan kedudukan lewat sendulan Miroslav Klose pada menit 79. Praktis Argentina
hanya mampu main bertahan karena tidak ada pemain yang mendistribusikan bola
sebaik Riquelme, kreativitasnya mati. Selain itu Pekerman juga tidak menurunkan
pemain belia Lionel Messi, mungkin bila
Riquelme tidak ditarik dan Pekerman memasukkan Messi hasil akhir berpihak pada
Argentina. Akhirnya Argentina kalah setelah adu pinalti namun banyak
kontroversi dan kecurangan di laga itu mengingat Jerman adalah tuan rumah. Kiprah
Riquelme harus terhenti disitu.
Banyak kalangan menilai Piala Dunia ini adalah penampilan
terbaik Argentina selama berkiprah di turnamen tersebut mengalahkan penampilan
di Piala Dunia 1986 ketika mereka juara. Argentina dibawah Pekerman dan
Riquelme memainkan gaya bermain yang taktis dan sangat enak dilihat dengan
skema serangan yang bertumpu pada Riquelme yang sanggup memainkan tempo
pertandingan, dia bisa bermain dengan cepat ketika menerima umpan dan mengoper
secara akurat baik umpan pendek maupun umpan atas jauh. Selain itu Riquelme
juga menjadi Top Assist di turnamen tersebut mengalahkan playmaker Brazil
Ronaldinho dan playmaker France Zinedine Zidane dgn catatan 6 assist.
Setelah
piala dunia karirnya di Villareal bukan
bertambah baik malah menjadi buruk. Dia jarang dimainkan lagi, isu yang beredar
Riquelme bersitegang dengan pelatih Manuel Pellegrini karena menuntut kebebasan
dan meminta perlakuan istimewa.
Akhirnya di musim 2007 dia dipinjamkan ke klub
yang membesarkan namanya Boca Jr untuk
setengah musim. Di klub ini Riquelme kembali bangkit dan sekali lagi
menunjukkan kelasnya sebagai playmaker jempolan. Di tanah kelahiranya masih
banyak klub yang memainkan peran playamaker klasik, kepulangannya ke La Bombonera disambut meriah oleh fans Boca yang
mengelu-elukan sang pahlawan. Dan dimasa peminjaman itu Riquelme berhasil
membawa Boca kembali menjuarai Copa Libertadores
dan berhak menjadi wakil Amerika Selatan yang berlaga di Piala Dunia Antar
Klub. Namun sayang ketidakjelasan status Riquelme membuat dia tak bisa berlaga
pada turnamen itu. Boca ingin mempermanenkan Riquelme namun tidak terjadi
kesepakatan harga dengan Villareal, maka itu nama Riquelme tidak bisa
didaftarkan di awal turnamen itu. Pada akhirnya Boca menyerah dari wakil Eropa Milan dengan skor 4-2 tanpa diperkuat Riquelme sebagai
pengatur serangan. Namun pada akhir masa transfer windows Villareal bersedia melepas Riquelme ke Boca Jr, keputusan yang sudah terlambat dan
merugikan Boca Jr. Bersama itu tamatlah karir seorang Riquelme ditanah eropa,
meskipun dia masih 29tahun saat itu, usia emas seorang pemain sepakbola masa
puncak. Namun Riquelme sendiri tak menyesali keputusanya itu. Hanya satu
penyesalanya saat di Eropa dia tidak bergabung dengan Manchester
United. Berdasar pengakuan dia baru-baru ini ketika masih bermain untuk
Villareal dia mengaku didatangi pelatih MU Sir Alex
Ferguson saat dihotel Inggris menjelang laga semifinal di Liga Champions melawan Arsenal.
Fergie mungkin kepincut talenta hebat Riquelme
yang sebelumnya juga sanggup menghentikan langkah Iblis Merah (julukan MU) di
kompetisi itu. Namun Riquelme menolak karena sudah betah di Villareal, tetapi mungkin
dia menilai keputusanya itu tidak tepat karena setelah itu dia malah sering
dicadangkan. Itu mungkin menjadi alasan penyesalan Riquelme dan menjadikan dia
pulang ke Argentina lebih dini.
Selain
MU Riquelme juga sempat dikaitkan dengan Real Madrid,
ketika playmaker mereka Zinedine Zidane akan pensiun seusai Piala Dunia 2006
Germany. Zidane sendiri yang meminta klubnya
supaya membeli Riquelme dari Villareal. Mungkin Zidane menilai kualitas
Riquelme cocok untuk menggantikan dia di Madrid. Namun saat masih rumor
Riquelme membantah dia akan bergabung dengan Madrid. Mungkin karena dia pernah
berseragam Barca dan akan sulit bila dia bergabung dengan Madrid nantinya,
seperti yang pernah dialami Luis Figo dia menerima perlakuan tidak enak saat
duel El Clasico. Pernyataan resmi dari Riquelme
sendiri dengan rendah hati dia menilai dia hanya pemain biasa dan tidak suka
dengan kata Galactico ( merujuk pada julukan Los Galacticos project
presiden Madrid Florentino Perez yang mengumpulkan para mega bintang dari
berbagai Negara seperti Ronaldo Brazil, Zidane,
Figo, Beckham, Owen).
Turnamen
internasional kembali lagi menyeruak kali ini Copa
Amerika 2007 Argentina dengan nahkoda baru lagi setelah Pekerman AFA
menunjuk pelatih Alfio Basile. Pelatih kali
ini masih sama seperti pendahulunya, dia percaya kepada kemampuan Riquelme sebagai playmaker Argentina walaupun
Timnas belum berprestasi lagi. Namun sangat disayangkan, lagi-lagi Argentina
harus takluk kembali dengan musuh bebuyutanya rival
abadi Brazil dengan skor 3-0 di partai puncak. Jelas kondisi ini sangat
tidak mengenakkan bagi semua pendukung begitupun pemain. Pada turnamen ini
Riquelme dalam urusan mencetak gol hanya kalah dari pemain Brazil Robinho dan pada turnamen sebelumnya ia juga
kalah dari striker Brazil lainya Adriano. Mengingat posisi dia
sebagai pemain tengah dan peran sebagai playmaker tentu itu adalah hal yang termasuk
melebihi yang seharusnya dilakukan pemain normal dengan posisi yang sama. Meskipun
Argentina selalu bermain impresif saat mengikuti turnamen mereka selalu kurang
beruntung di partai Final. Serta pelatih yang kurang perhitungan selalu menjadi
kendala
.
Dan
turnamen terakhir yang diikuti Riquelme
bukanlah turnamen resmi dari FIFA melainkan hanya Olimpiade
U-23 Beijing 2008. Pelatih tim olimpiade Argentina U20 Sergio Batista mempercayakan Riquelme sebagai kapten dan membimbing pemain muda
Argentina seperti Messi, Aguero, Di Maria, Lavezzi,
Banega, Zabaleta, Garay, dan Romeroyang kelak menjadi pemain inti Timnas
Argentina Senior pada turnamen-turnamen mayor. Pada turnamen terakhirnya
ini Riquelme berhasil membantu Argentina mempertahankan Medali olimpiade
berturut-turut setelah Olimpiade 2004 Athena.
Dan setelah ini dia tidak pernah lagi terlihat bersama tim Tango pada
turnamen-turnamen mayor selanjutnya.
Di akhir kualifikasi Piala Dunia 2010 dia
berselisih dengan pelatih Maradona sehingga
memilih mundur dari timnas, Argentina hampir tidak lolos, namun akhirnya melaju
ke Piala Dunia 2010 South Africa otomatis secara dramatis. Setelah awal yang
meyakinkan Argentina harus terhenti menyakitkan akibat dibantai musuh bebuyutan Jerman dengan skor 4-0 di perempat
final. Sesungguhnya
2010 ini adalah awal bagi Argentina untuk berprestasi karena seteru mereka
Brazil mulai menurun dan regenerasi yang kurang berkualitas namun Maradona
dengan keegoisannya tidak mau mengikutkan pemain-pemain berpengalaman seperti
Riquelme dan Zanetti berhujung kegagalan.
KemudianCopa Amerika 2011
dengan pelatih Sergio Batista Argentina
tidak memakai Riquelme lagi hanya sanggup melaju di semi-final setelah
dikalahkan Uruguay lewat drama adu pinalti
yang akhirnya menjadi juara di Turnamen itu bersama Forlan
dan Suarez cs. Di Piala Dunia 2014 Brazil
adalah pencapaian tertinggi bersama pelatih Alejandro
Sabella Messi cs berhasil melaju hingga final menghadapi musuh lamanya
Jerman sekaligus partai ulangan final Piala Dunia
1990 Italy saat maradona masih
bermain dan yang mereka lawan masih bernama Jerman
Barat. Lagi-lagi Argentina harus tertunduk sampai babak Extra time kedua
lewat gol kemenangan Jerman yang dibukukan pemain pengganti Mario Goetze. Sekaligus menegaskan dominasi Jerman atas Argentina di pentas sepakbola
terakbar 4 tahunan tersebut dengan rekor 3 kali bertemu 3 kemenangan diraih. Namun
yang patut diperhatikan ke 3 kekalahan itu semuanya ketika Argentina tidak
diperkuat playmaker jenius mereka Riquelme, perlu diingat saat pertemuan di Piala
Dunia 2006 saat Riquelme ada Argentina sanggup unggul selama 78 menit. Dan tanpa
dia Argentina selalu kalah. Itulah kesalahan setiap pelatih Argentina tidak
menyertakan dirinya. Padahal Riquelme bisa menjadi kunci kesuksesan Argentina
dengan umpan-umpan ajaibnya yang terukur, sebagai pengatur serangan handal,
pendistribusi bola lapangan tengah, pengambil situasi bola mati yang ahli (
tendangan bebas dan sepak pojok ) yang bisa dimanfaatkan pemain lain untuk
dijadikan gol kemenangan. Sayang sekali para pelatih tak pernah menyadari bakat
dan talenta yang luar biasa dan sangat langka itu. Meraka malah hanya
bergantung pada super star Barcelona Lionel Messi, walaupun dia hebat namun
kemampuan playmaker murni tidak ada dalam dirinya. Jika diingat lagi Riquelme
sanggup membimbing meraka (pemain muda Argentina) menjuarai olimpiade U20 maka
kenapa dia tidak diikutkan lagi. Peluang juara akan semakin besar walau usia
Riquelme sudah menginjak 35 tahun namun kualitasnya masih sanggup bermain di
Turnamen besar. Di Copa America 2015
terakhir Riquelme sudah pensiun, Argentina melaju ke final dengan menghadapi Chile dan kalah dari alexis
Sanchez cs.
Pada laga sebelumnya salah satu pemain tim Tango Angel Di Maria menyatakkan Argentina butuh pemain
seperti Crespo dan Batistuta, merujuk pada
striker legendaris tim Tango yang merupakan striker murni dan sangat berbahaya
di kotak pinalti lawan karena insting dan finishing yang baik, serta handal
dalam bola-bola atas karena ditunjang postur yang tinggi untuk ukuran pemain
Argentina. Namun
menurutku itu masih kurang jika tidak ada penyuplai bola sekelas Riquelme
dilapangan tengah. Kehadiran striker murni dan playmaker klasik akan membuat
tim menjadi sempurna. Dan faktor lain yang kurang aku sukai formasi yang
diterapkan tim Tango selalu 4-3-3 dengan 3 penyerang, aku lebih suka dengan
gaya formasi Pekerman 4-4-2 dengan 2 penyerang dan satu playmaker murni.
Terbukti dengan pemain yang pas-pasan Pekerman bisa mengangkat performa
Kolombia.
Di
Boca Jr Riquelme bukannya tanpa masalah
dimusim 2012 dia berseteru dengan pelatih Falconi
karena gaya bermainya yang pragmatis, Riquelme berkata Falconi membuatnya seperti
orang bodoh, sehingga dia sempat tidak dimainkan selama 7bulan. Dia
juga sempat menyatakan ingin hengkang dari klub yang telah dia bela selama 2
periode itu. Alasanya karena kekalahan Boca dari
Corintians di final Copa Libertadores membuat dia kecewa. Riquelme
mengaku sudah tidak bisa memberikan kontribusi apapun lagi untuk Boca. Sudah
tidak ada lagi yang bisa dia berikan untuk klub dia berkata. Namun para
pendukung dan pemilik Boca Jr tidak ingin pemain kesayangannya itu pergi ke tim
lain, gelombang protes dan dukungan untuk mempertahankan Riquelme pecah di
berbagai tempat di Buenos Aires. Pihak klub menunjuk pelatih baru Carlos Bianchi
untuk membujuknya kembali bergabung ke Boca. Awalnya Riquelme sudah berniat
hengkang namun akhirnya dia bersedia bergabung untuk ke 3 kalinya ke boca pada
awal musim 2013. Riquelme mengklaim nomer 10 di
Boca Jr itu adalah Miliknya, ketika ada seorang pemain yang sanggup
memenangkan Copa Libertadores lebih dari 3 kali barulah dia boleh memakai nomer
itu, Riquelme sesumbar(namun pada akhirnya di tahun 2015 Carlos Tevez si anak
hilang yang juga sempat membela Boca Jr sebelum berpetualang ke eropa pulang
dari Juventus dia mengenakan nomer 10 yang ditinggalkan pemiliknya itu).
Hanya
satu musim dia bertahan di Boca Jr sampai awal 2014 dia memutuskan pindah ke
klub masa kecilnya Argentinos Jr. Misinya
kali ini adalah membantu Argentinos Jr promosi
ke kasta tertinggi Liga Argentina Primera Division
dan dia berhasil membawa tim itu naik dari kasta ke dua liga Argentina. Setelah
berhasil menuntaskan misinya banyak tawaran yang menghampirinya dari berbagai Negara
tetangga salah satunya yang santer adalah klub asal Paraguay
Cerro Porteno. Klub itu kabarnya akan menjadikan Riquelme pemain dengan
gaji tertinggi di liga Paraguay, namun akhirnya
Riquelme memutuskan berhenti sebagai pemain sepakbola setelah 18 tahun
berkarir. Bunyi pernyataanya perpisahanya kurang lebih seperti ini : “Saya memutuskan
untuk tidak lagi bermain sepakbola. Sekarang saya hanyalah supporter. Saya akan
datang ke tribun dan akan ikut menderita bersama yang lainya. Saya Puas dengan
karir saya. Saya menikmati sepakbola sampai ke level teratas. Semoga
orang-orang juga menikmatinya sama halnya seperti saya. Sungguh saya menjalani
masa-masa yang menyenangkan. Saya selalu memberikan yang terbaik untuk para
penggemar Boca, Argentina, Barcelona, dan Villareal baik di tim junior maupun
tim senior. Saya adalah seorang yang mengambil keputusan dengan tenang, dan
berpikir dalam. Sudah jelas saya akan berlibur dan bersenang-senang dan
menikmati setiap waktu bersama anak-anak saya. Mulai saat ini kehidupan
sepakbola saya sudah berakhir, dan kehidupan baru saya dimulai. Kita lihat saja
seperti apa kehidupan baru ini. Hari dimana saya tidak lagi bermain sepakbola
adalah hari dimana saya pergi untuk minum the dengan ibu saya.” Riquelme
sendiri mengaku bangga bisa memperkuat Boca Jr karena orangtuanya merupakan supporter
dari Boca Jr.
Dan
ketika Argentina masih mencari gelar yang tak kunjung didapat, Riquelme sudah
memiliki kehidupan barunya. Namanya mungkin akan hilang begitu saja karena
bintang sepakbola semakin hari semakin bertambah banyak. Akan tetapi para
pecinta sepakbola sejati terutama penggemar Argentina tidak akan melupakan “si
penyihir malas” begitu saja. Di tengah perubahan zaman dia seolah melawan tren
dengan tetap bertahan dengan gaya sepakbola yang pertama kali dia kenal. Bagi dia
bermain sepakbola adalah tentang kesenangan.Jujur untuk saat ini dan seterusnya mungin belum ada yang akan bisa
menyamai kemampuan playmaker Riquelme. Kelebihan dia adalah teknik tinggi dan menurutku
hanya ada 2 pemain yang menyamainya selama aku menonton sepakbola yaitu Zidane
dan Ronaldinho, passing yang akurat lihatlah di youtube dia selalu memudahkan
rekan mencetak gol dari berbagai situasi open play maupun set-piece serta free
kick dia yang bisa membuat kiper lawan melongo mungkin pirlo dan xavi masih
dibawahnya untuk urusan ini, visi nya membaca pertandingan. Gerakkan-gerakan
disertai teknik mengagumkan dalam melewati pemain lawan itu jugaa hanya bisa
dibandingkan dengan Zidane dan Ronaldinho, gerakan-gerakan yang tidak pernah
diajarkan disekolah sepakbola manapun. Walaupun Riquelme masih kalah dalam
jumlah trofi untuk klub maupun Negara dari ke empatnya namun kualitasnya hanya
sedikit dibawah Zidane. Orang seperti Riquelme dan Batistuta bisa saja
memenagkan gelar apapun yang ada, jika mereka mau bergabung dengan tim-tim
besar. Namun meraka memiliki prinsip sendiri didalam menjalani karir, mereka
tak pernah menerima tawaran-tawaran yang datang. Merka lebih suka membela
tim-tim yang tidak diisi banyak bintang namun merkalah yang akan mengangkat tim
itu dengan kemampuan mereka. Kalau ada tantanga bisakah ronaldo dan messi berhasil
bila memperkuat tim menengah? Belum tentu, namun Riquelme dan Batistuta sudah
membuktikan walau mereka tak bisa membawa prestasi tertinggi. Namun itu sudah
merupakan pencapaian luar biasa. Adakah pemain bintang yang tidak tertarik
memperkuat tim besar? Mungkin tidak ada kecuali hanya Riquelme dan Batistuta.
Kini
di tengah sepakbola modern lebih pragmatis dengan mementingkan hasil, serta
mengabaikan etika dan sisi hiburan. Sepakbola berubah menjadi hanya menjalankan
bisnis dan kualitasnya tak sebagus dulu. Semua hanya tentang kemenangan dan
piala namun dengan cara yang kadang tidak seharusnya. Tak ada lagi pemain
dengan skill dan teknik diperagakan diatas lapanagan seperti yang yang
dilakukan Zidane Ronaldinho dan Riquelme yang begitu menghibur dan membuat
penonton berdecak kagum, bagaimana mereka bisa melakukan itu? Yang ada hanya
pemain yang berlomba-lomba membuat banyak gol an dia bisa memperoleh
penghargaan sebagai pemain terbaik dunia.
Beruntung
generasi yang pernah menonton aksi-aksi era Riquelme dan playmaker klasik
lainya. Rasanya akan sulit menjelaskan pada generasi mendatang betapa bagus dan hebatnya pemain-pemain semacam Riquelme ataupun Batistuta, karena tak akan ada lagi tipe pemain seperti itu lagi mungkin untuk
waktu yang lama. Terima kasih Riquelme atas
segala yang pernah kau lakukan di sepabola. Kini sang
playmaker klasik terakhir sudah berhenti menghibur penggemarnya. Dan
dia sudah memutuskan untuk memulai hidup barunya. Selamat menikmati masa
istirahatmu Roman! Vamos La Albiceleste